Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global

Seorang pekerja menggunakan pelindung wajah sedang memberi makan kambing di peternakan Mahir Farm menjelang Idul Adha di tengah pandemi virus corona (Covid-19), di Bogor, Jawa Barat, 28 Juli 2020. (Foto: Reuters)

Industri peternakan ternyata telah berdampak signifikan terhadap pemanasan global. Pengurangan konsumsi daging secara global pun terus didorong agar sejalan dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan energi terbarukan.

Saat membacakan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Minggu (10/11), peneliti di Institute for Ecosoc Right sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Sri Palupi, menggarisbawahi sumbangan signifikan sektor peternakan pada pemanasan global. Surat ini dikirimnya kepada presiden menjelang Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-29 atau COP ke-29 yang akan diselenggarakan di Baku, Azerbaijan pada 11-12 November.

Dalam surat tersebut, Sri menyatakan industri peternakan telah berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim melalui emisi gas rumah kaca (karbondioksida/CO2, Metana/CH4, Nitrous Oksida/NO2) dalam jumlah besar, perusakan lingkungan akibat polusi udara-tanah-air dan deforestasi secara luas. Oleh karena itu, dampak industri peternakan terhadap pemanasan global tidak dapat diabaikan.

“Tanpa pengurangan signifikan dalam konsumsi daging global maka kita akan kehilangan peluang strategis dalam mengatasi perubahan iklim, menyelamatkan Bumi dan segenap penghuninya,” ungkap Sri.

Lebih jauh Sri memaparkan saat ini dunia tengah menghadapi ancaman yang sangat serius terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global. Apalagi, katanya, The EU's Copernicus Climate Change Service mencatat pada Februari 2024, ambang batas pemanasan global 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris (2015) telah terlampaui.

Sebuah peternakan sapi dekat Jerome, negara bagian Idaho, AS.

“Jika pemanasan global tidak terkendali, diperkirakan populasi manusia akan berkurang hingga 75 persen akibat bencana, penyakit, kelaparan, dan kemiskinan,” tuturnya.

Potensi Terjadinya Bencana di Indonesia Meningkat

Indonesia, berdasarkan laporan World Risk Report (WRI) tahun 2022 sebelumnya, tercatat sebagai negara nomor tiga di dunia yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina dan India. Namun, kondisi ini memburuk setelah laporan WRI pada tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua yang paling berisiko terkena bencana setelah Filipina.

“Padahal pada 2018 Indonesia tidak termasuk dalam 10 besar negara yang paling berisiko terhadap bencana. Bergesernya posisi Indonesia menjadi negara yang berisiko sangat tinggi terhadap bencana ini menunjukkan, Indonesia memiliki tingkat paparan, kerentanan dan kerawanan tinggi terhadap bencana, sementara kapasitas penanganan bencana kurang dan minimnya adaptasi terhadap bencana,” jelasnya.

Sepanjang 2014-2024 ada 35.925 kejadian bencana di Indonesia, di mana sedikitnya 11.350 orang meregang nyawa. Intensitas bencana di Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan.

BACA JUGA: PBB: Target Iklim Perjanjian Paris 'Dalam Bahaya Besar'

Mempertimbangkan berbagai fakta itu, komunitas Vegan Squad Indonesia, ujar Sri, mengajukan usulan dan mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat kebijakan mengurangi konsumsi daging sebagai salah satu langkah strategis dan ekonomis dalam mengatasi perubahan iklim.

Selain itu, pihaknya juga mengusulkan untuk menjalankan komitmen mengurangi deforestasi secara signifikan dan menghindari proyek-proyek pembangunan yang memperburuk deforestasi.

“Melakukan dan memperluas edukasi pada masyarakat tentang pola hidup vegan/vegetarian sebagai langkah efektif mengatasi perubahan iklim, dengan melibatkan berbagai pihak, seperti media, lembaga pendidikan, kelompok agamawan, korporasi, komunitas-komunitas vegan, dan lainnya,” katanya.

Mendorong dan memfasilitasi produksi pangan lokal nabati untuk mendukung dan memperluas penerapan pola hidup vegan/vegetarian, serta mendukung dan memfasilitasi perluasan pertanian selaras alam dengan melibatkan organisasi dan komunitas petani.

Keterangan foto: Sejumlah aktivis perempuan melakukan kampanye terkait perlindungan hak masyarakat adat dan menolak deforestasi di kawasan Danau Toba, Sumatra Utara. Rabu 20 Juli 2022. (Courtesy: Greenpeace Indonesia)

Pemerintah Diminta Bawa Usulan ke COP-29

Dalam kesempatan yang sama praktisi vegan sekaligus anggota Vegan Squad Indonesia, Yogen Marshel Wijaya, berharap usulan ini disampaikan oleh delegasi atau perwakilan Indonesia di ajang COP ke-29 nanti. Menurutnya selama ini solusi yang kerap dibuat di ajang tahunan iklim tersebut tidak menyentuh akar permasalahan dan cenderung tidak adil terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Ia mencontohkan pada COP ke-27 di Mesir telah disepakati pembentukan dana loss and damage yang dibuat untuk membantu negara yang rentan menghadapi dampak perubahan iklim. Yogen mengibaratkan dana loss and damage ini tidak ubahnya seperti perdagangan karbon karena negara-negara maju yang notabene negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia diperbolehkan untuk tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya dengan hanya membayar dana loss and damage kepada negara yang rentan terkena bencana akibat perubahan iklim.

“Jadi solusi COP kurang strategis karena tidak menyasar akar permasalahan pemanasan global itu sendiri. Dan tidak adil karena negara maju boleh tidak mengurangi emisi gas rumah kacanya selama punya uang. dan kita negara berkembang yang tidak punya uang, kita harus mengurangi gas emisi rumah kacanya,” jelasnya.

Ribuan ayam di sebuah peternakan di Bogor, 27 Juli 2012. (Foto: Enny Nuraheni/Reuters)

Ajang COP, ujar Yogen selalu membahas terbatas hanya pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi dan industri ketika membicarakan tentang pemanasan global. Padahal, sebenarnya masalah terbesar dari pemanasan global bukanlah pada penggunaan bahan bakar fosil saja.

“Tahun 2006, dari laporan yang dikeluarkan oleh FAO disitu disebutkan bahwa peternakan hewan penyebab emisi yang jauh lebih besar dari emisi semua mobil dan industri bila digabungkan. Padahal selama ini COP hanya membicarakan soal bahan bakar fosil. Dan ternyata peternakan hewan menyumbang emisi yang jauh lebih besar dibandingkan emisi yang dihasilkan dari transportasi dan industri bila digabungkan,” jelasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Sektor Peternakan Dinilai Jadi Penyumbang Signifikan Pemanasan Global

Penggundulan Hutan dan Industri Peternakan Hewan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2019 melaporkan 75 persen penggundulan hutan atau deforestasi di dunia disebabkan oleh industri peternakan hewan. Menurutnya pola makan nabati dapat membebaskan jutaan kilometer persegi lahan untuk hutan penyerap karbon dan dapat mengurangi hingga 8 giga ton emisi karbon setiap tahun pada 2050.

“Peternakan hewan menghasilkan gas metana yang setara dengan 72 kalinya CO2 dan juga menghasilkan gas nitrogen oksida yang setara dengan 296 kalinya CO2. Sedangkan COP yang selama ini dibahas hanya membahas tentang bahan bakar fosil yang emisinya CO2,” jelasnya.

Selain itu, penggunaan lahan untuk peternakan hewan yang sangat luas tersebut ternyata manfaatnya tidak sebesar lahan pertanian. Berdasarkan laporan FAO, disebutkan bahwa 77 persen lahan yang digunakan untuk peternakan hewan hanya dapat menyumbang 18 persen pasokan kalori global, dan 37 persen pasokan protein dunia. Sedangkan 23 persen lahan pertanian, dapat menyumbang 82 persen pasokan kalori global, dan 63 persen pasokan protein global. [gi/em]