Warga di berbagai wilayah Indonesia hari Rabu (15/2) memberikan suaranya dalam lebih dari 100 pemilihan kepala daerah, namun pemilihan gubernur Jakarta paling menarik perhatian.
Pilkada Jakarta merupakan persaingan antara kelompok moderat dan konservatif. Isu agama dan ras mendominasi kampanye di ibukota dengan sekitar tujuh juga pemilih setelah sang petahana dituduh menistakan agama.
Philips Vermonte dari lembaga pemikiran Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan pilkada Jakarta penting karena hasilnya dapat mempengaruhi politik nasional.
"Pada beberapa bulan terakhir banyak orang prihatin karena isu-isu lama muncul kembali, khususnya mengenai hubungan antara negara dan agama, atau hak-hak warga negara untuk dipilih atau untuk memilih, pluralisme, dan lain-lain," ujar Philips kepada VOA.
"Isu agama dalam pilkada ini telah menciptakan gesekan-gesekan yang telah membuat ibukota sepertinya lebih intoleran dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Untuk itu, saya kira keberhasilan pemilihan gubernur 15 Februari adalah ujian tidak hanya untuk para pemilih Jakarta, tapi juga Indonesia."
Gubernur petahana, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, adalah warga keturunan China dan beragama Kristen, membuatnya minoritas ganda. Populer di kalangan warga kelas menengah berkat upayanya melawan korupsi dan meningkatkan kualitas hidup, tuduhan-tuduhan penistaan agama terhadapnya muncul bulan September dan ia saat ini sedang menghadapi persidangan.
Protes-protes terhadapnya memuncak Sabtu (11/2), hari terakhir berkampanye, dengan puluhan ribu warga dari seluruh negeri berkumpul di Jakarta untuk mendengarkan para ulama mendesak mereka untuk memilih kandidat Muslim.
Kedua pesaing Basuki, Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan, adalah Muslim.
Agus, mayor Angkatan Darat yang mengundurkan diri untuk bersaing dalam pilkada, adalah putra tertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun ia tidak memiliki pengalaman dalam sektor publik, ia meyakinkan para pemilih dalam kampanyenya bahwa ia siap untuk menjadi gubernur berikutnya.
Anies adalah akademisi dan bekas menteri pendidikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Siti Zuhro, analis senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan usia-usia para kandidat yang muda, berkisar antara 38 tahun sampai 50 tahun, telah memicu antusiasme di antara para pemilih muda.
Anies "menarik warga muda yang baru pertama kali memilih. Mereka menganggap ia asyik dan ramah," ujar Siti.
Agus menarik warga asli Jakarta, menurut Siti, sementara dukungan untuk Basuki telah menurun dari lebih dari 50 persen menjadi 30 persen sejak tuduhan penistaan agama mencuat.
Meskipun hasil "quick count" akan memberikan indikasi hasilnya beberapa jam setelah tempat-tempat pemungutan suara tutup pada pukul 13.00, hasil resminya baru akan keluar 27 Februari. Kemungkinan sepertinya kecil bagi salah satu kandidat mendapatkan 50 persen dari suara-suara yang dibutuhkan untuk menang, yang berarti akan ada putaran berikutnya bulan April untuk dua kandidat dengan suara terbanyak.
Henri Satrio, analis dari Universitas Paramadina, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa perhatian tertuju pada pemilihan gubernur, karena ketika Joko Widodo memenangkan pemilihan gubernur tahun 2012, ia kemudian menggunakannya sebagai momentum politik tahun 2014 dan terpilih sebagai presiden.
Faktor kedua adalah kekuasaan di belakang masing-masing kandidat.
"Mantan presiden SBY ada di belakang Agus, mantan presiden Megawati Sukarnoputri ada di belakang Basuki, dan mantan presiden Prabowo Subianto ada di belakang Anies. Selain itu, petahana-petahana sebelumnya tidak pernah terpilih kembali, jadi jika Ahok terpilih lagi, itu akan menjadi momen bersejarah."
Selain itu ada faktor agama.
“Saya kira yang kita lihat saat ini mungkin lebih kepada konflik berbasis elit," ujar Philips.
"Saya yakin bahwa masyarakat kita pada umumnya masih moderat seperti yang dibuktikan pada 100 pilkada lainnya, isu agama tidak ada. Namun elemen-elemen konservatif ini telah dimobilisasi oleh kelompok-kelompok elit, yang tidak punya kreativitas dan tidak mau bersaing secara adil dalam pilkada. Dan isu-isu agama dan anti-etnis adalah alat termudah untuk digunakan." [hd]