Sekelompok massa yang mengatasnamakan diri sebagai Front Jihad Islam FJI Jum'at pagi (19/2) menyebarluaskan ajakan untuk menolak keberadaan Pondok Pesantren Al Fatah di Banguntapan, Yogyakarta. Penghuni pondok pesantren dan pengasuhnya Shinta Ratri segera mengungsi ke tempat yang lebih aman setelah pesan ajakan itu tersebar. Polisi yang mencium gelagat kemungkinan terjadinya aksi kekerasan pun, mengamankan lokasi pondok pesantren sejak pagi.
FJI: “Kami Akan Segel Ponpes karena Ingin Buat Fiqih Waria”
Sekitar jam 2 siang datang sekitar 20 orang yang mengatasnamakan diri sebagai Front Jihad Islam FJI yang langsung dihadang polisi. FJI menyampaikan niat mereka untuk menyegel dan menolak keberadaan pondok pesantren yang menurut mereka ingin mengembangkan fiqih waria yang bertentangan dengan syariat Islam. "Kami ingin mengklarifikasi karena mendapat informasi pondok pesantren waria ini mau membuat fiqih waria. Kalau benar maka itu tidak sesuai syariat," ujar Abdulrahman yang mengaku sebagai koordinator FJI.
Pengasuh Al Fatah: "Tidak Benar Kami Ingin Buat Fiqih Waria"
Sebelumnya pengasuh pondok pesantren waria, Shinta Ratri, telah berulangkali mengatakan bahwa isu yang beredar itu tidak benar. Isu fiqih waria itu bermula dari artikel yang dipublikasikan oleh sebuah media online panjimas.com berdasarkan wawancara dengan Shinta Ratri. "Tetapi berita itu diplintir, saya tidak pernah bicara seperti itu. Saya percaya sama mereka karena waktu datang wawancara baik dan sopan. Tapi beritanya justru diplintir," tegas Shinta.
Banyak Pihak Sesalkan Maraknya Sikap Intoleransi terhadap LGBT
Sejumlah pihak menyesalkan sikap intoleransi, provokasi kebencian dan tindakan main hakim sendiri yang terjadi di Yogyakarta itu. Kaukus Pancasila, yang beranggotakan beberapa anggota DPR RI, menghimbau negara segera memberi perlindungan kepada komunitas LGBT dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan atas dasar apapun, berdasarkan keterangan yang diterima oleh VOA. Anggota kaukus yang juga anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati, mengatakan “terlepas dari perdebatan medis maupun agama, faktanya mereka adalah warga negara yang sudah sepatutnya memperoleh perlindungan dan rasa aman, sebagaimana warga negara lainnya."
Kaukus Pancasila: "Semua Warga Negara Berhak Dilindungi"
Hal senada disampaikan Eva Sundari, anggota Komisi XI DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, yang mengatakan "berdasarkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila persatuan Indonesia, semua warga negara sama kedudukannya di mata hukum dan konstitusi terlepas dari latar belakang suku, agama, maupun orientasi seksualnya." Ditegaskannya bahwa negara tidak bisa membiarkan tindakan kekerasan di luar hukum yang bermaksud memaksakan keyakinannya dan menciptakan diskriminasi terhadap warga negara lainnya. Negara harus memastikan bahwa seluruh tindakan warga negaranya didasarkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi, bukan atas dasar yang lainnya, termasuk yang menggunakan justifikasi agama. "Dalam prinsip demokrasi, mayoritas semestinya melindungi minoritas, bukan justru menghina, melecehkan dan/atau mengucilkan," tambah Eva.
Pondok Pesantren Al Fatah Jadi Kanalisasi Positif Waria
Pondok Pesantren Al Fatah, yang disebut-sebut sebagai satu-satunya pondok pesantren waria di dunia, sudah berdiri sejak tahun 2008 dan selama ini menjadi kanalisasi positif sekelompok waria yang sangat rentan mengalami diskriminasi dan hampir tidak memiliki tempat untuk menyalurkan kegiatan sosial secara positif.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB Maman Imanulhaq mengatakan "inisiatif seperti yang dilakukan oleh Ponpes Al Fatah, merupakan inisiatif yang semestinya dikembangkan untuk mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin."
Banyak pihak kini mendesak pemerintah, khususnya aparat keamanan, untuk memastikan perlindungan kepada seluruh warga negara, termasuk kelompok LGBT, dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan atas dasar apapun. Juga tidak segan-segan mengambil tindakan tegas sesuai aturan hukum terhadap para pelaku penyulut kebencian, diskriminasi dan kekerasan atas kelompok LGBT.
Isu LGBT Tidak Lagi di Tatanan Diskusi Semata
Isu LGBT marak menjadi perbincangan dalam sebulan terakhir ini setelah sebuah kelompok kajian mahasiswa Universitas Indonesia "Support Group and Resource Center of Sexuality Studies" atau disingkat SGRC melangsungkan sebuah acara terbuka mengupas isu LGBT pertengahan Januari lalu. SGRC yang didirikan sejak tahun 2014 sebenarnya bertujuan mempromosikan, mendidik dan mengembangkan program yang berkaitan dengan seksualitas, reproduksi dan orientasi seksual. Tetapi sejak melangsungkan acara itu, SGRC dikecam luas sebagai organisasi pro-LGBT. Upaya ketua SGRC meluruskan informasi yang salah itu tidak berhasil karena terlanjur beredar asumsi luas di kalangan masyarakat Indonesia, yang mayoritas berpenduduk Islam, bahwa LGBT adalah penyakit akibat salah pergaulan dan menular.
Isu ini semakin meluas ketika beberapa tokoh ikut angkat bicara menentang LGBT seperti Mahfud MD, guru besar FH UII Yogyakarta yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, dan M. Nasir, mantan rektor Universitas Diponegoro yang kini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Di Surabaya, Jawa Timur, polisi melarang dan mengancam akan membubarkan kegiatan G-Nite Party yang sedianya digelar di sebuah rumah karaoke dua pekan lalu, dengan alasan “mengganggu kamtibmas”. Sementara di Bandung, Jawa Barat, beberapa organisasi masyarakat melakukan pendataan kaum LGBT dan menyatakan akan mengusir mereka begitu pendataan selesai. [em]