Pada Rabu (27/7), Korea Selatan menuduh Korea Utara menghanyutkan berkantung-kantung selebaran lewat sungai yang mengalir ke Seoul. Selebaran-selebaran itu berisi ancaman untuk melancarkan serangan misil dan propaganda lama bahwa Korea Utara memenangkan Perang Korea.
Semenanjung Korea terpecah menjadi Korea Utara yang komunis dan didukung Soviet, dan Korea Selatan yang bersekutu dengan AS, setelah terbebas dari pemerintah kolonial Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua.
Perang Korea, yang dimulai pada 1950, melibatkan koalisi PBB pimpinan AS yang membela Korea Selatan dari percobaan invasi Korea Utara. Korea Utara ketika itu mendapat dukungan sekutu komunisnya, China. Sekitar 5 juta tentara dan warga sipil tewas selama perang yang secara teknis tidak pernah berakhir itu. Pada tanggal 27 Juli, pihak-pihak yang berperang menandatangani kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri permusuhan namun tidak pernah menandatangani perjanjian perdamaian.
Perdamaian yang rapuh itu masih bertahan hingga saat ini namun ujicoba nuklir dan uji misil balistik Korea Utara telah membuat situasi lebih meletup.
Berbicara di sela-sela KTT ASEAN di Laos beberapa waktu lalu, Menlu Korea Utara Ri Yong Ho mengatakan Korea Utara merupakan negara nuklir yang bertanggungjawab dan tidak akan menggunakannya senjata atomnya kecuali jika terancam. Ri juga mengatakan, negaranya telah berulangkali mengusulkan pembicaraan perdamaian namun pemerintah Korea Selatan menolaknya.
Jurubicara Kementerian Unifikasi Korea Selatan, Park Soo-jin, Rabu, menegaskan kembali sikap Seoul dan Washington bahwa Pyongyang harus terlebih dahulu menghentikan program nuklirnya sebelum dilangsungkan pembicaraan untuk meredakan ketegangan dan mengakhiri sanksi-sanksi. [ab/uh]