Seperempat Perempuan di China Alami KDRT

  • William Ide

Seorang perempuan China membawa 2 anaknya dengan bersepeda di Beijing (foto: dok). Diperkirakan 1 dari 4 perempuan China mengalami KDRT oleh pasangannya.

Ironisnya, tanpa undang-undang soal kekerasan dalam rumah tangga ini pada tingkat nasional, pihak berwenang seringkali bisa membatalkan pengaduan atas kasus KDRT tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan masalah sejak lama di China, di mana sekitar satu dari empat perempuan menjadi korban kekerasan fisik oleh pasangan mereka.

Perempuan ini – Kim Lee – menampilkan wajah pada kisah-kisah tanpa nama lainnya tentang kekerasan dalam rumah tangga di China, ketika ia memasang foto-foto wajahnya yang babak belur di internet.

Foto-foto itu mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai pemukulan kronis oleh suaminya kala itu, guru bahasa Inggris terkenal Li Yang.

Kisah Kim Lee tersebar luas lewat internet dalam waktu beberapa jam saja.

“Saya tidak tahu bahwa dalam waktu satu malam, sudah ada 10 atau 20 ribu orang yang membaca kisah itu, dan saya juga tidak menyangka masalah ini telah menjadi wabah disini. Saya kira awalnya ini merupakan masalah pribadi saya dan bukan sesuatu yang tersebar luas,” ujar Kim Lee.

Badan Perlindungan Perempuan di China memperkirakan seperempat perempuan dianiaya oleh pasangannya, tetapi angka sesungguhnya mungkin jauh lebih besar. Banyak insiden yang tidak dilaporkan karena pihak berwenang jarang mengambil tindakan.

Kim menambahkan, “Tema pemersatu yang memberi saya kekuatan untuk melakukan perjalanan jauh ini adalah karena tidak ada seorang pun yang melakukan sesuatu, tidak seorang pun menolong kami. Saya sudah pergi ke polisi, mereka tidak peduli. Saya datangi lembaga-lembaga perempuan, mereka tidak menelfon kembali. Saya coba bicara dengan ibu saya dan ibu saya mengatakan apa yang akan kamu lakukan? Suami-mu memiliki rumah dan mobil!. Ada rasa ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah ini”.

Kim Lee memenangkan kasus perceraiannya dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga, sebuah proses yang dipuji para aktivis hukum sebagai sebuah keputusan bersejarah.

Tetapi tanpa undang-undang yang mendefinisi kekerasan dalam rumah tangga secara nasional, maka polisi, pekerja sosial dan pengadilan tidak memiliki perangkat untuk menangani kasus-kasus semacam itu.

Liu Xiaquan – aktivis perempuan di Beijing mengatakan, polisi adalah pihak pertama yang didatangi korban, kerap berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah keluarga, beberapa kali polisi bahkan tidak mau menulis laporan atau mereka menulis “pertengkaran dalam keluarga – diselesaikan sendiri”.

Organisasi-organisasi HAM perempuan telah mendesak pemerintah untuk meloloskan sebuah rancangan undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga dalam pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional. Sebuah RUU didiskusikan dalam beberapa pertemuan tetapi tidak diloloskan. Para aktivis berharap undang-undang semacam itu akan diadopsi dalam beberapa bulan atau beberapa tahun lagi.

Seksolog Fang Gang mengatakan budaya juga perlu diubah dan laki-laki harus menjadi bagian dalam proses itu.

Fang Gang menambahkan banyak suami yang kasar ingin berubah tetapi perlu bantuan. Ia memulai sebuah layanan telefon hotline tahun 2010, di mana ia dan para sukarelawan berbicara dengan laki-laki yang mengaku telah memukuli pasangannya.

Dengan bicara pada mereka tentang apa yang melatarbelakangi aksi kekerasan tersebut, Fang Gang percaya ia akan bisa menghentikan kekerasan dalam rumah tangga itu (William Ide dan Antonia Cemini).