JIUQUAN —
Tiongkok kemungkinan akan melonggarkan kebijakan satu anak yang ketat karena perempuan-perempuan seperti Hu Yanqin, yang tinggal di desa di ujung Gurun Gobi.
Hu hanya ingin memiliki satu anak, meski daerah tempat tinggalnya, Jiuquan di provinsi Gansu barat laut Tiongkok, mengijinkan keluarga memiliki dua anak sejak 1985.
"Yang memiliki dua anak adalah mereka yang kaya,” ujar Hu, 32, sambil mengantar anaknya yang berumur enam tahun ke taman kanak-kanak. “Mayoritas warga di desa saya hanya punya satu anak.”
Para pendukung reformasi kebijakan satu anak menggunakan Hu dan jutaan perempuan sepertinya sebagai bukti bahwa melonggarkan undang-undang tersebut tidak akan mengakibatkan lonjakan kelahiran di negara dengan penduduk terpadat di dunia itu.
Jiuquan memiliki tingkat kelahiran delapan sampai sembilan per 1.000 orang, lebih rendah dari angka nasional yaitu 12 kelahiran per 1.000 orang.
Kebijakan satu anak, diberlakukan sejak 1980 dengan reformasi yang mengarah pada perkembangan ekonomi yang pesat, semakin dilihat sebagai penghambat pertumbuhan dan penyebab banyak masalah sosial.
Tenaga kerja yang mencapai 930 juta, diperkirakan akan menurun mulai 2025 dengan tingkat sekitar 10 juta per tahun. Sementara itu, populasi manula di Tiongkok akan mencapai 360 juta pada 2030, dari 200 juta pada 2013.
“Jika hal ini terus terjadi, tidak akan ada pembayar pajak, pekerja dan perawat manula,” ujar Gu Baochang, profesor demografi di Renmin University.
Ahli statistik Tiongkok Ma Jiantang mengatakan akhir pekan lalu bahwa negara tersebut harus memiliki “kebijakan keluarga berencana yang sesuai dan ilmiah” menyusul data yang menunjukkan bahwa populasi usia pekerja 15-59 tahun jatuh untuk pertama kalinya.
Para ekonomis mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan meningkatkan jumlah tabungan masyarakat, karena mereka harus menyimpan uang untuk hari tua.
Harapan bahwa pemerintah di Beijing akan melonggarkan pembatasan jumlah anak muncul sejak mantan Presiden Hu Jintao yang baru lengser terus menyatakan frase “mempertahankan tingkat kelahiran yang rendah.”
Berbicara pada kongres Partai Komunis November lalu, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa pemimpin teratas Tiongkok memberikan pidato besar dengan tema semacam itu.
Kebijakan satu anak meliputi 63 persen populasi dan diperkirakan 400 juta kelahiran telah dicegah sejak 1980. Implementasinya bisa brutal. Warga yang melanggar dapat didenda, kehilangan pekerjaan, dan dalam beberapa kasus perempuan diminta menggugurkan kandungan atau melakukan sterilisasi.
Musim panas lalu, seorang perempuan yang hamil tujuh bulan dipaksa menggugurkan kandungannya, memicu amarah masyarakat dan kecaman dunia internasional.
Namun bukti menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mungkin tidak perlu. Pada 2008, penelitian yang dilakukan Gu dari Renmin University dan Wang Feng dari Brookings-Tsinghua Center for Public Policy di empat daerah yang memperbolehkan memiliki dua anak menunjukkan bahwa biaya membesarkan anak yang tinggi cukup untuk mendorong orang membatasi kelahiran. Selain itu, kebebasan memiliki anak kedua telah membuat rasio gender lebih seimbang.
Setahun kemudian, Komisi Kependudukan Nasional dan Keluarga Berencana memutuskan memperluas program yang mengijinkan dua anak di empat sampai lima daerah lain. Namun keputusan tersebut dibatalkan.
Rasio gender yang tidak seimbang merupakan salah satu dampak negatif kebijakan satu anak, karena seperti banyak negara Asia lain, Tiongkok memiliki preferensi untuk anak laki-laki. Banyak keluarga yang menggugurkan kandungan ketika mengetahui anak yang dikandung perempuan, sehingga rasio bayi laki-laki adalah 118 untuk setiap 100 bayi perempuan, jauh lebih tinggi dibandingkan angka global 103 terhadap 107. (Reuters/Sui-Lee Wee dan Hui Li)
Hu hanya ingin memiliki satu anak, meski daerah tempat tinggalnya, Jiuquan di provinsi Gansu barat laut Tiongkok, mengijinkan keluarga memiliki dua anak sejak 1985.
"Yang memiliki dua anak adalah mereka yang kaya,” ujar Hu, 32, sambil mengantar anaknya yang berumur enam tahun ke taman kanak-kanak. “Mayoritas warga di desa saya hanya punya satu anak.”
Para pendukung reformasi kebijakan satu anak menggunakan Hu dan jutaan perempuan sepertinya sebagai bukti bahwa melonggarkan undang-undang tersebut tidak akan mengakibatkan lonjakan kelahiran di negara dengan penduduk terpadat di dunia itu.
Jiuquan memiliki tingkat kelahiran delapan sampai sembilan per 1.000 orang, lebih rendah dari angka nasional yaitu 12 kelahiran per 1.000 orang.
Kebijakan satu anak, diberlakukan sejak 1980 dengan reformasi yang mengarah pada perkembangan ekonomi yang pesat, semakin dilihat sebagai penghambat pertumbuhan dan penyebab banyak masalah sosial.
Tenaga kerja yang mencapai 930 juta, diperkirakan akan menurun mulai 2025 dengan tingkat sekitar 10 juta per tahun. Sementara itu, populasi manula di Tiongkok akan mencapai 360 juta pada 2030, dari 200 juta pada 2013.
“Jika hal ini terus terjadi, tidak akan ada pembayar pajak, pekerja dan perawat manula,” ujar Gu Baochang, profesor demografi di Renmin University.
Ahli statistik Tiongkok Ma Jiantang mengatakan akhir pekan lalu bahwa negara tersebut harus memiliki “kebijakan keluarga berencana yang sesuai dan ilmiah” menyusul data yang menunjukkan bahwa populasi usia pekerja 15-59 tahun jatuh untuk pertama kalinya.
Para ekonomis mengatakan bahwa kebijakan tersebut akan meningkatkan jumlah tabungan masyarakat, karena mereka harus menyimpan uang untuk hari tua.
Harapan bahwa pemerintah di Beijing akan melonggarkan pembatasan jumlah anak muncul sejak mantan Presiden Hu Jintao yang baru lengser terus menyatakan frase “mempertahankan tingkat kelahiran yang rendah.”
Berbicara pada kongres Partai Komunis November lalu, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa pemimpin teratas Tiongkok memberikan pidato besar dengan tema semacam itu.
Kebijakan satu anak meliputi 63 persen populasi dan diperkirakan 400 juta kelahiran telah dicegah sejak 1980. Implementasinya bisa brutal. Warga yang melanggar dapat didenda, kehilangan pekerjaan, dan dalam beberapa kasus perempuan diminta menggugurkan kandungan atau melakukan sterilisasi.
Musim panas lalu, seorang perempuan yang hamil tujuh bulan dipaksa menggugurkan kandungannya, memicu amarah masyarakat dan kecaman dunia internasional.
Namun bukti menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mungkin tidak perlu. Pada 2008, penelitian yang dilakukan Gu dari Renmin University dan Wang Feng dari Brookings-Tsinghua Center for Public Policy di empat daerah yang memperbolehkan memiliki dua anak menunjukkan bahwa biaya membesarkan anak yang tinggi cukup untuk mendorong orang membatasi kelahiran. Selain itu, kebebasan memiliki anak kedua telah membuat rasio gender lebih seimbang.
Setahun kemudian, Komisi Kependudukan Nasional dan Keluarga Berencana memutuskan memperluas program yang mengijinkan dua anak di empat sampai lima daerah lain. Namun keputusan tersebut dibatalkan.
Rasio gender yang tidak seimbang merupakan salah satu dampak negatif kebijakan satu anak, karena seperti banyak negara Asia lain, Tiongkok memiliki preferensi untuk anak laki-laki. Banyak keluarga yang menggugurkan kandungan ketika mengetahui anak yang dikandung perempuan, sehingga rasio bayi laki-laki adalah 118 untuk setiap 100 bayi perempuan, jauh lebih tinggi dibandingkan angka global 103 terhadap 107. (Reuters/Sui-Lee Wee dan Hui Li)