Serikat Buruh Umum Tunisia atau UGTT hari Selasa (30/7) bergabung dalam seruan gencar, menuntut pembubaran pemerintah yang didominasi kelompok Islamis.
Serikat buruh terbesar Tunisia hari Selasa ikut dalam seruan yang terus bertambah agar pemerintah yang didominasi Islamis dibubarkan, yang menimbulkan pertanyaan apakah negara kecil di Afrika Utara itu akan terperosok ke dalam kemelut seperti pergolakan di Mesir.
Sejauh ini, Partai Islamis Ennahda yang moderat menolak tuntutan untuk mundur. Tetapi dalam pidato yang disiarkan televisi hari Senin, Perdana Menteri Tunisia Ali Larayedh mengatakan pemilu legislatif yang seharusnya sudah sejak lama dilakukan, akan diselenggarakan tanggal 17 Desember.
Tanggal tersebut sangat simbolis. Tanggal 17 Desember bertepatan dengan peringatan tiga tahun kematian seorang penjual sayur di Tunisia tengah yang memulai revolusi negara itu - dan secara luas lagi, yang dijuluki pergolakan Musim Semi Arab.
Tetapi konsesi pemerintah itu tampaknya tidak meredakan kemarahan oposisi, termasuk anggota parlemen Nadia Chaabane, anggota Partai Al Massar, Tunisia.
Diwawancara Radio Perancis RFI, Chaabane mengatakan, ia tidak percaya perdana menteri itu sungguh-sungguh tentang pemilu. Setiap kali ada krisis, katanya, pemerintah menetapkan tanggal baru untuk pemungutan suara.
Banyak pengamat setuju bahwa Tunisia menghadapi salah satu krisis politik terburuk sejak revolusi tahun 2011.
Dua politisi oposisi sekuler dibunuh tahun ini - satu di antaranya hanya beberapa hari lalu. Dan pada hari Senin, pemerintah mengumumkan bahwa delapan tentara Tunisia tewas dalam penyergapan di dekat perbatasan Aljazair, di mana pemberontak Islamis diketahui aktif. Serangan itu merupakan yang paling mematikan dalam beberapa tahun.
Dalam wawancara telepon dari Tunis, ketua Institut Kebijakan Arab, Fares Mabrouk percaya tinggal menunggu waktu saja sebelum pemerintah mengundurkan diri.
"Tekanan itu sekarang begitu kuatnya, rakyat meminta minimal pemerintah mengundurkan diri, atau setidaknya ada peta jalan yang sangat jelas," kata Mabrouk.
Menurut Mabrouk, peta jalan itu harus menyertakan tanggal pasti pemilu. Pemerintah, katanya, sudah berkali-kali menetapkan jadwal, sehingga sudah kehilangan kredibilitas.
Sebagian unsur gejolak Tunisia itu tampak mirip dengan apa yang kini terjadi di Mesir, negara tetangga Tunisia, di mana tentara menggulingkan Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin sebagai presiden. Tetapi, analis seperti Mabrouk berhati-hati menggambarkan kesamaan itu. Misalnya, tentara Tunisia, berbeda dengan tentara Mesir, secara tradisional menjauhi politik.
Tetapi Mabrouk mengatakan ia tetap optimistis tentang masa depan negaranya - dan tentang prospek Tunisia yang mungkin masih menjadi sebuah contoh bagi demokrasi di dunia Arab.
Sejauh ini, Partai Islamis Ennahda yang moderat menolak tuntutan untuk mundur. Tetapi dalam pidato yang disiarkan televisi hari Senin, Perdana Menteri Tunisia Ali Larayedh mengatakan pemilu legislatif yang seharusnya sudah sejak lama dilakukan, akan diselenggarakan tanggal 17 Desember.
Tanggal tersebut sangat simbolis. Tanggal 17 Desember bertepatan dengan peringatan tiga tahun kematian seorang penjual sayur di Tunisia tengah yang memulai revolusi negara itu - dan secara luas lagi, yang dijuluki pergolakan Musim Semi Arab.
Tetapi konsesi pemerintah itu tampaknya tidak meredakan kemarahan oposisi, termasuk anggota parlemen Nadia Chaabane, anggota Partai Al Massar, Tunisia.
Diwawancara Radio Perancis RFI, Chaabane mengatakan, ia tidak percaya perdana menteri itu sungguh-sungguh tentang pemilu. Setiap kali ada krisis, katanya, pemerintah menetapkan tanggal baru untuk pemungutan suara.
Banyak pengamat setuju bahwa Tunisia menghadapi salah satu krisis politik terburuk sejak revolusi tahun 2011.
Dua politisi oposisi sekuler dibunuh tahun ini - satu di antaranya hanya beberapa hari lalu. Dan pada hari Senin, pemerintah mengumumkan bahwa delapan tentara Tunisia tewas dalam penyergapan di dekat perbatasan Aljazair, di mana pemberontak Islamis diketahui aktif. Serangan itu merupakan yang paling mematikan dalam beberapa tahun.
Dalam wawancara telepon dari Tunis, ketua Institut Kebijakan Arab, Fares Mabrouk percaya tinggal menunggu waktu saja sebelum pemerintah mengundurkan diri.
"Tekanan itu sekarang begitu kuatnya, rakyat meminta minimal pemerintah mengundurkan diri, atau setidaknya ada peta jalan yang sangat jelas," kata Mabrouk.
Menurut Mabrouk, peta jalan itu harus menyertakan tanggal pasti pemilu. Pemerintah, katanya, sudah berkali-kali menetapkan jadwal, sehingga sudah kehilangan kredibilitas.
Sebagian unsur gejolak Tunisia itu tampak mirip dengan apa yang kini terjadi di Mesir, negara tetangga Tunisia, di mana tentara menggulingkan Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin sebagai presiden. Tetapi, analis seperti Mabrouk berhati-hati menggambarkan kesamaan itu. Misalnya, tentara Tunisia, berbeda dengan tentara Mesir, secara tradisional menjauhi politik.
Tetapi Mabrouk mengatakan ia tetap optimistis tentang masa depan negaranya - dan tentang prospek Tunisia yang mungkin masih menjadi sebuah contoh bagi demokrasi di dunia Arab.