Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah mengambil strategi jangka pendek dan jangka panjang untuk mengantisipasi dampak El Nino, sekaligus menyikapi perubahan iklim. Ketua Umum SPI Henry Saragih menyebut fokus jangka pendek adalah pada ketersediaan air.
“Yang dibutuhkan petani adalah, segera ini, pemerintah merawat itu waduk-waduk, embung-embung yang ada, dan irigasi-irigasi supaya airnya jangan terbuang. Masih ada waktu untuk kita memperhatikan itu,” ujarnya kepada VOA.
“Nah yang kedua adalah membantu petani untuk memiliki alat-alat pompa air yang teknologinya hemat energi. Itu perlu dikembangkan,” lanjut Henry.
Sedangkan langkah ketiga yang harus dilakukan pemerintah saat ini, katanya, adalah menjaga sumber air dan sungai-sungai secara lebih ketat. Aktivitas yang mengganggu, misalnya penambangan, harus diperhitungkan ulang.
Namun, SPI juga meminta pemerintah menerapkan strategi jangka panjang. Di sebagian kalangan petani di Tanah Air, isu perubahan iklim sebenarnya bukan hal yang asing. Bahkan di depan Presiden Joko Widodo pada 6 April 2023 lalu, SPI dengan tegas meminta diterapkannya agroekologi.
Agroekologi sendiri adalah pendekatan yang menggabungkan prinsip ekologi dengan praktik pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
SPI meminta pemerintah memaksimalkan penggunaan benih-benih tanaman pertanian yang tidak banyak menggunakan air, pola penggarapan sawah yang hemat air. Selain itu, penggunaan pupuk kimia juga sebaiknya ditekan. Sayangnya, kata Henry, setidaknya sampai saat ini Kementerian Pertanian belum menindaklanjuti seruan petani itu.
Agroekologi penting agar praktik pertanian memperhatikan dampaknya bagi lingkungan. Pada gilirannya, sektor ini bisa menyumbang pada upaya menekan perubahan iklim, karena bagaimanapun sektor pertanian juga yang akan menerima dampak besar dari fenomena global ini.
Untuk ketahanan pangan, pemerintah juga didesak memprioritaskan tanaman pangan dibanding tanaman perkebunan berorientasi ekspor, seperti kelapa sawit.
Your browser doesn’t support HTML5
“Produksi pangan kita diorientasikan untuk kebutuhan pangan nasional. Untuk kedaulatan pangan kita,” tegas Henry.
Dia juga menegaskan, bahwa PBB sudah mengeluarkan deklarasi tentang hak asasi petani dan rakyat yang bekerja di pedesaan (UNDROP) pada 2018, sebagai reaksi atas krisis pangan pada 2008. Pemerintah harus memperhatikan hal ini, dalam strategi sektor pertanian dan pemenuhan pangan nasional.
Pemerintah Siapkan Strategi
Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan puncak musim kering pada tahun ini akan jatuh pada Agustus hingga Desember. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi, memastikan pihaknya sudah melakukan sejumlah langkah antisipasi, antara lain dengan melakukan pemetaan wilayah rawan. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, daerah yang sangat rawan kekeringan ditandai sebagai wilayah merah, kuning untuk risiko sedang, dan hijau untuk area yang aman dari bencana kekeringan.
BACA JUGA: Asuransi Pertanian: Tameng Dampak Perubahan Iklim yang Minim Sambutan“Dari mapping tergambar sekitar 40 kabupaten yang early warning-nya mesti siap siaga, karena ini daerah langganan kekeringan. Yang kuning 80-90 kabupaten. Kita fokus pada daerah rawan kekeringan,” kata Suwandi dalam diskusi yang diselenggarakan Kementan.
Di samping itu, petani juga didorong untuk melakukan gerakan percepatan tanam yang otomatis akan memajukan panen. Pemerintah juga akan memprioritaskan benih-benih yang tahan kekeringan dan tahan hama atau penyakit.
“Yang ketiga, teknik budidaya bertanam dengan efisien, hemat air, majak-majak, enggak boros, enggak perlu genang-genang. Sedikit air saja, pas sesuai kebutuhan tanaman, jadi budidaya hemat air,” rinci Suwandi tentang strategi Kementan.
Selain itu, Kementan juga mendorong peningkatan asuransi pertanian. Petani cukup membayar Rp36 ribu untuk setiap hektare tanaman per musim, dan jika gagal panen total akan bisa menerima klaim hingga Rp6 juta.
“Jangan menunda tanam. Kalaupun memang air enggak cukup untuk padi, boleh tanam palawija, jagung, kedelai. Kalau enggak cukup waktunya, yang dua bulan aja seperti kacang hijau, boleh juga,” tambah Suwandi.
Pemerintah, katanya, berharap lahan pertanian tetap produktif di tengah ancaman kekeringan.
Pertanian Ramah Lingkungan
Dr Beata Ratnawati, dosen di Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor (IPB), memaparkan hasil penelitiannya yang menyebut bahwa mayoritas kendala yang biasa dihadapi petani terkait dengan perubahan iklim.
“Kemarin kami coba melakukan penelitian terkait dengan baik, itu di Bogor maupun di Sumbawa. Ternyata yang menjadi permasalahan di petani adalah terkait dengan kondisi iklim, terutama terkait dengan kekurangan,” ujar Beata.
Dari penelitian ini diperoleh data, 43 persen petani menyatakan bahwa persoalan yang paling besar mereka hadapi adalah kekeringan atau banjir. Sementara 41 persen petani menyatakan adanya persoalan hama dan penyakit tanaman, serta 16 persen mengeluhkan pembiayaan dan operasional.
“Padahal kita tahu bahwa hama dan penyakit tanaman ini muncul juga dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kalau hujan terus menerus hamanya nanti meningkat juga. Kekeringan juga akan mempengaruhi hama yang ada pada tanaman,” rinci Beata.
Karena itu, menurut penelitian 84 persen persoalan petani hadir karena iklim baik secara langsung maupun tidak.
Persoalan-persoalan yang dihadapi petani akan berdampak pada hasil panen yang mereka peroleh.
BACA JUGA: Sorgum di Tengah Ancaman Krisis Pangan Akibat El NinoBeata mendorong adanya praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan untuk menahan laju dampak perubahan iklim ini. Dia mengingatkan bahwa El Nino terjadi akibat perubahan iklim sebagai bagian dari efek gas rumah kaca. Salah satu sumber gas rumah kaca adalah aktivitas pertanian.
“Dampak El Nino terhadap pertanian, mempengaruhi produktivitas tanaman. Jadi, dari aktivitas pertanian yang kita lakukan, dampaknya kembali lagi ke kita,” tandasnya.
Karena itu lah, untuk mengurangi dampak perubahan iklim, kata Beata, khusus untuk sektor pertanian perlu dipikirkan praktik budidaya yang lebih baik bagi alam. [ns/ab]