Sejak hari pertama perang Sudan tahun lalu, pertempuran antara Angkatan Bersenjata Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat menghancurkan kota kembar: Khartoum, ibu kotanya, dan Omdurman, kota terbesarnya.
Jutaan orang mengungsi dari wilayah metropolitan akibat pertempuran itu. Namun ada pula yang tetap tinggal karena mereka tidak mempunyai sarana untuk pergi atau dalam beberapa kasus, karena mereka memilih untuk tinggal dan membantu.
Moemen Ahmed Abbas menjadi sukarelawan di salah satu rumah sakit terakhir yang masih berfungsi di Omdurman. Ia menolak meninggalkan kota itu.
Berbicara kepada VOA melalui Google Meet, Abbas mengatakan ia tidak bisa meninggalkan pasien-pasiennya, terutama karena mereka bergantung pada bantuannya. Abbas tinggal di sana untuk memastikan mereka memiliki akses untuk hal-hal penting.
“Saya tetap memastikan bahwa orang-orang yang terluka memiliki akses untuk kebutuhan penting seperti makanan, tempat tinggal dan perawatan medis. Meninggalkan mereka hanya akan memperburuk situasi mereka yang membutuhkan.”
BACA JUGA: Indonesia Salurkan Bantuan Kemanusiaan Rp30 Miliar untuk Palestina dan SudanIa mengatakan situasi di rumah sakit itu sangat menyedihkan karena kekurangan pasokan medis dan keamanan. Rumah sakit itu juga rentan serangan udara dan pertempuran yang sering terjadi.
Kelompok-kelompok kemanusiaan dan wartawan internasional tidak bisa memasuki Khartoum dan banyak wilayah lain di Sudan. Akibatnya, kepedulian dunia akan konflik di negara itu memudar.
Para komentator dan diplomat sering menyebut konflik di Sudan sebagai “perang yang terlupakan” di dunia, karena 16.000 orang diperkirakan tewas dan 8,6 juta orang terpaksa mengungsi akibat konflik itu.
Para analis mengatakan, perlu tekanan dari komunitas internasional untuk membawa pihak-pihak yang bertikai ke meja perundingan. Namun itu sulit terwujud dalam waktu dekat.
Peneliti senior di Program Afrika - Pusat Studi Strategis dan Internasional, Cameron Hudson mengatakan, “Sedihnya, saya melihat konflik ini belum siap diselesaikan dalam bentuk apa pun saat ini. Kedua pihak berpikir, mereka bisa menang atau harus menang. Selama mereka terus didukung oleh aktor-aktor eksternal yang menyediakan senjata dan intelijen, maka mereka akan melanjutkan pertempuran ini.”
Laporan intelijen AS baru-baru ini mengatakan, semakin lama perang berlangsung, semakin besar kemungkinan Sudan menjadi tempat berkembangbiak teroris.
Your browser doesn’t support HTML5
Bakry Elmedni adalah analis kelahiran Sudan. Ia mengajar di Long Island University. Kepada VOA, ia juga menyampaikan pandangan yang sama.
“Anak-anak muda di sana, mereka memendam kemarahan. Mereka mengalami perpecahan etnis, dan kemudian mereka mempunyai narasi bahwa ada perang yang sedang terjadi di suatu tempat,” ujarnya.
Para pemimpin dari kedua pihak yang bertikai sangat tidak populer di kalangan mayoritas warga Sudan. Tidak seorangpun dari mereka yang dipilih secara demokratis. Namun pihak yang paling menderita dalam pertempuran yang sedang berlangsung adalah warga sipil Sudan.
Setelah perang satu tahun di Sudan, tampak jelas bahwa tidak ada bantuan berarti yang akan diberikan. [ps/ka]