Setahun UU Cipta Kerja, Gelombang Penolakan Belum Berhenti

  • Nurhadi Sucahyo

Aksi Kamisan Kaltim 7 Oktober 2021 memperingati setahun UU Cipta Kerja. (Foto: Kamisan Kaltim)

UU Cipta Kerja atau Omnibus Law menjadi salah satu produk legislasi yang menerima tantangan paling besar pasca reformasi. Upaya judicial review kini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, dan berbagai diskusi di luar pengadilan, terus digelar untuk menolaknya.

Undang-undang ini disahkan DPR pada 5 Oktober 2020, diiringi aksi demonstrasi ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis pergerakan. Tidak hanya di Jakarta, aksi demonstrasi merata berlangsung di tanah air, bahkan hingga November 2020.

Di Samarinda, Kalimantan Timur, yang sebelumnya tidak begitu menonjol dalam peta gerakan mahasiswa, aksi juga berlangsung keras. Di penghujungnya, dua mahasiswa ditangkap, diajukan ke meja hijau dan masuk penjara. Salah satunya adalah Wisnu Juliansyah, mahasiswa tingkat akhir di Fisip, Universitas Mulawarman. Dia ditangkap dalam aksi 5 November 2020, dan didakwa melakukan penyerangan kepada polisi.

Wisnu Juliansyah mahasiswa Fisip Universitas Mulawarna dan aktvis Aksi Kamisan Kaltim yang sempat dipenjara 5,5 bulan terkait aksi menolak Omnibus Law. (Foto: dok pribadi)

“Dakwaan penganiayaan yang dijatuhkan ke saya, akibat chaos itu lemparan batu diindikasikan kena salah satu anggota polisi, kena di pelipis kanan. Dalam proses persidangan saksi-saksi punya keterangan yang rancu, ada yang mengatakan saya melempar sendiri, ada yang bilang ramai-ramai yang melempar. Belum ada bukti kongkret,” tutur Wisnu.

Wisnu akhirnya dijatuhi hukuman penjara5 bulan 15 hari oleh hakim dan baru bebas 20 April 2021 lalu. Dia ingat betul, bagaimana rasanya menjalani hari-hari pertama dalam tahanan polisi.

“Saat saya dimasukkan sel, selama satu minggu itu tiap malam saya dipanggil. Ada salah satu perkataan yang saya ingat betul, salah satu intel mengatakan di depan saya, masih mau kau melawan penguasa?,” kenang Wisnu.

Tidak hanya mahasiswa, kelompok buruh juga menjadi motor sejumlah aksi menolak Omnibus Law. Buruh merasa sangat berkepentingan, karena menilai isi undang-undang baru ini merugikan mereka. Salah satu pegiat aksi buruh, adalah Nining Elitos dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Mahasiswa dan aktivis demokrasi di Kalimantan Timur rutin menggelar aksi setiap Kamis. (foto: Kamisan Kaltim)

Pilihan sikap buruh menolak Omnibus Law tentu membawa resiko. Kantor mereka berulang kali menerima teror.

“Ketika Omnibus Law, pertama 13 Januari 2020 kami melakukan aksi, 17 Februari kami mendapatkan teror. Kantor Konfederasi KASBI didemo orang yang tidak kita ketahui, dan kemudian mereka membakar ban mobil di depan pinru gerbang,” kata Nining.

Satu tahun setelah disahkan, menurut Nining, yang terjadi adalah degradasi hak-hak pekerja. Wacana soal lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan justru hasilnya bertolak belakang. Kehadiran Omnibus Law, ditambah situasi pandemi, menurut Nining memperparah sektor ketenagakerjaan.

BACA JUGA: UU Cipta Kerja Cacat Hukum, Presiden Didorong Terbitkan Perppu

“Saya menyaksikan jutaan buruh dipangkas hak-haknya, di PHK. Perusahaan banyak menawarkan PHK untuk menggantikan status pekerja tetap, menjadi status pekerja alih daya atau outsourcing,” ungkapnya.

Satu Tahun Omnibus Law

Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pekan ini masih menggelar reli sidang judicial review terhadap UU Cipta Kerja yang diajukan sejumlah pihak. Belum diketahui, sampai kapan persidangan akan berlangsung, karena para pakar hukum masih silih berganti menjadi saksi.

Di luar upaya hukum itu, Aliansi Akademisi Tolak UU Omnibus Cipta Kerja menggelar diskusi memperingati setahun berlakunya UU Cipta Kerja, Kamis (14/10). Diskusi ini mengupas UU Cipta dari berbagai sisi, termasuk apa dampaknya dalam setahun terakhir ini.

Herlambang P. Wiratraman, dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta. (Foto:VOA)

Herlambang P Wiratraman, dari aliansi itu menyebut, jika direfleksi, semua akan memahami bahwa UU tersebut memiliki dampak besar sekali, dari sisi isu Hak Asasi Manusia (HAM).

“Karena UU Cipta Kerja ini sedari awal sudah menerabas banyak prinsip negara hukum, tidak lagi sesuai dengan tujuan. Yang katanya untuk merampingkan legislasi, tetapi justru memperbanyak kerumitan atau menebalkan lapisan-lapisan kebingungan publik,” kata Herlambang.

Bahkan, seperti banyak diketahui, dalam draft UU dulu, ditemukan banyak kekeliruan. Menurut Herlambang, fakta ini sebenarnya menjadi bukti, penyusunan UU baru ketika itu tidak lagi tepat untuk dipertahankan.

Secara substantif, lanjut Herlambang, UU ini juga lebih melayani sistem kekuasaan oligarki, yaitu sistem yang memusatkan kekuasaan hanya pada sedikit orang saja. UU Cipta Kerja terbukti ramah kepada pemilik modal, tetapi tidak membela kelompok buruh. UU ini juga dinilai para akademisi sangat hegemonik terhadap kepentingan penguasa.

Arif Yogiawan, aktivis Fraksi Rakyat Indonesia.(foto:VOA)

Arif Yogiawan, aktivis Fraksi Rakyat Indonsia dalam diskusi ini juga setuju dengan penilaian bahwa UU Cipta Kerja bermasalah sejak awal.

“Sejak pengusulannya, sudah banyak terjadi konflik kepentingan. Dapat kita lihat dalam berbagai laporan yang kami sampaikan,” kata Arif.

Fraksi Rakyat Indonesia memang telah mempublikasikan sejumlah laporan penelitian, yang menggambarkan bagaimana aktor-aktor politik di Indonesia juga memiliki pengaruh bisnis yang besar. Karena kondisi itulah, UU Cipta Kerja diselimuti konflik kepentingan yang sangat kuat.

“Dan itu terbukti, ketika Airlangga Hartarto, membentuk Satgas Omnibus Law dan mayoritas anggotanya adalah pengusaha,” lanjut Arif.

Tuntutan Aliansi Akademisi

Secara khusus, aliansi akademisi telah melakukan berbagai kajian akademik, yang mengevaluasi UU Cipta Kerja selama setahun terakhir. Beberapa di antaranya adalah bahwa upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi melalui UU Cipta Kerja, lebih bertumpu pada liberalisme dan pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, korupsi yang diharapkan bisa ditekan justru tidak menerima manfaat yang cukup.

Herdiansyah Hamzah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Kaltim. (Foto dok pribadi)

Upaya menarik investasi asing dianggap telah berdampak pada pemangkasan hak-hak buruh secara signifikan. UU ini juga dianggap memperlemah mekanisme kontrol publik atas ancaman kerusakan lingkungan oleh kegiatan bisnis. Perubahan isi RUU berulangkali oleh pemerintah, padahal telah disetujui DPR, menunjukkan tarik-menarik dan tawar-menawar kepentingan antar elite bisnis-politik-birokrat.

Karena itulah, aliansi akademisi ini terus mengecam UU Cipta Kerja yang tidak selaras dengan hak-hak dasar rakyat.

“Kami juga mendesak pencabutan UU Cipta Kerja, baik melalui PERPPU, UU ataupun melalui putusan MK, dengan amar putusan yang mengabulkan permohonan uji formil dan materiil UU ini terhadap UUD,” kata Herdiansyah Hamzah, dari aliansi akademisi.

Your browser doesn’t support HTML5

Setahun UU Cipta Kerja, Gelombang Penolakan Belum Berhenti

Aliansi juga menyatakan, bahwa UU Cipta Kerja adalah peraturan yang menimbulkan kekacauan hierarki peraturan perundang-undangan dan cacat yuridis materiil dan formil. Mereka mengajak akademisi kampus di Indonesia untuk terus mengkritisi UU ini, beserta seluruh aturan turunannya. [ns/ab]