Tidak lama setelah terjadi serangan bom bunuh diri di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, akhir Mei lalu, Presiden Joko Widodo mendesak agar rancangan undang-undang antiterorisme segera dirampungkan. Presiden juga menyatakan agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga dilibatkan dalam upaya mengatasi terorisme.
Urgensi pengesahkan RUU Antiterorisme sesegera mungkin kian menguat setelah seorang polisi di Medan ditikam hingga tewas dan disusul insiden penikaman dua anggota Brigade Mobil di Jakarta dua pekan lalu.
Dalam jumpa pers di kantornya, Ketua SETARA Institute Hendardi mengakui pelibatan TNI dalam upaya memerangi terorisme bisa menimbulkan perdebatan dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sebab selama ini Polri, khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror, merupakan ujung tombak dalam penanganan terorisme di Indonesia.
"Mempercepat (pengesahan RUU Antiterorisme) itu menjadi penting terutama dalam konteks memperkuat aturan operasional dari konsep preventive justice. Itu adalah cara di dalam negara mendukung pemberantasan terorisme secara lebih genuine. Presiden dan DPR sebagai otoritas legislasi harus memastikan fokus dari revisi RUU terorisme ini pada muatan kewenangan pencegahan," kata Hendardi.
Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan pimpinan ISIS di Irak dan Suriah telah menginstruksikan para simpatisan dan pengikutnya di seluruh dunia untuk berjihad di negara masing-masing dengan segala cara semampunya, setelah basis pertahanan ISIS di Irak dan Suriah mulai terdesak. Karena itu, menurut Bonar, modus operandi serangan teroris sudah berubah cepat dan perlu antisipasi yang tepat untuk menangani hal tersebut. Karena itu, lanjutnya, aparat keamanan membutuhkan dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan ketika memberantas teroris.
Lebih lanjut Bonar mengatakan itu sebabnya sejak beberapa tahun terakhir ini, polisi meminta agar ada revisi undang-undang terorisme yang memberikan justifikasi bagi tindakan mereka. Pendekatan baru dalam mengatasi teroris di seluruh dunia dikenal dengan nama "preventive justice", yang salah satu bentuknya adalah ‘’pretrial detention’’.
Bonar menambahkan dalam RUU Antiterorisme ada klausul di mana polisi bisa menahan seseorang dicurigai terlibat kegiatan atau jaringan teroris selama 1x30 hari, lebih lama dari aturan sebelumnya 7x24 jam.
"Tujuannya adalah untuk mengorek informasi lebih jauh, lebih dalam, sekaligus mencoba untuk mengetahui jaringan, termasuk potensi-potensi sebuah aksi teror. Ujungnya, belum tentu orang itu kemudian harus masuk ke pengadilan. Itu yang disebut pretrial detention," ujar Bonar.
Bonar mencontohkan sistem ‘’pretrial detention’’ inilah yang digunakan Malaysia dan Singapura untuk mencegah terjadinya serangan teroris. Kedua negara itu memberlakukan Internal Security Act (ISA) atau Aturan Keamanan Dalam Negeri yang memberikan kewenangan kepada aparat keamanan untuk menahan seseorang yang dicurigai akan melakukan teror selama-lamanya dua tahun tanpa melalui proses pengadilan.
Your browser doesn’t support HTML5
Bonar menambahkan RUU Antiterorisme yang tengah dibahas di DPR harus mampu mengantisipasi perkembangan terorisme di masa mendatang, dengan tetap menghormati kebebasan sipil dan HAM.
Bonar mengingatkan jangan sampai di satu sisi RUU Antiterorisme memberikan kewenangan agar aparat penegak hukum bekerja lebih cepat dan sigap, tetapi di lain pihak mereduksi perlindungan dan norma-norma hak asasi manusia.
Anggota Panitia Khusus Revisi Undang-undang Terorisme Bobby Rizaldi mengakui adanya kelemahan dalam UU Anti-Terorisme yang berlaku sekarang ini karena aparat keamanan tidak bisa menangkap seseorang sebelum serangan teror terjadi. Padahal badan-badan terkait – seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror – sudah memiliki data soal siapa saja warga Indonesia terkait dengan terorisme.
Karena itu, lanjut dia, dalam revisi yang tengah dirumuskan akan diperkuat soal deteksi dini terhadap kegiatan dan jaringan terorisme. Terduga teroris juga bisa ditahan selama 30 hari untuk menjalani pemeriksaan.
"Bagaimana caranya upaya deteksi dini tersebut akuntabilitasnya tetap tinggi. Misalkan, dia ditahan. Buktinya apa yang membuat dia bisa ditahan. Lantas kalau penahanannya lama, siapa yang memberikan izin, apakah dewan pengawas, izin pengadilan, dari mana. jadi akuntabilitasnya juga dibarengi dengan proses perenventive detention yang makin menguat," kata Bobby.
M. Syauqillah, peneliti terorisme dari SETARA Institute, menjelaskan pemerintah dan aparat keamanan mesti mengawasi para jihadis Indonesia baru pulang bertempur di Irak dan Suriah. Dia menambahkan data dari Kementerian Luar Negeri menyatakan selama tahun ini sudah 460 orang dideportasi dari Turki, sedangkan tahun lalu hanya 200-an orang. [fw/em]