Setara Institute memberikan skor Indeks Kinerja HAM pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode 2015-2019 sebesar 3,2 dari skala 1-7 ( angka 1 menunjukkan pemenuhan yang rendah dan 7 menunjukkan pemenuhan yang tinggi). Skor tersebut naik tipis sebesar 7,6 poin dari awal pemerintahan pada 2015 sebesar 2,45.
Peneliti HAM dan Perdamaian Setara Institute, Shelma Theofany, mengatakan peningkatan skor tersebut disumbang oleh kemajuan pada bidang ekonomi, sosial dan budaya. Ini tergambar dari penurunan tingkat kematian bayi dan ibu, serta peningkatan sarana dan prasarana di bidang kesehatan.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara catatan terburuk ada pada kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan kebebasan berekspresi. Setara mencatat setidaknya ada 720 peristiwa pelanggaran KBB pada 2015-2018. Adapun lima aktor negara tertinggi yaitu pemerintah daerah, kepolisian, institusi pendidikan, satpol P, dan pengadilan. Karena itu, Setara Institute mendorong pemerintahan Jokowi lebih mempertimbangkan HAM dalam periode keduanya.
"Kami juga mendorong pemerintah, terutama Presiden Jokowi untuk mengadopsi dan memastikan United Guidine Principles (UNGPs) on Business and Human Rights sebagai barikade rezim investasi dan pembangunan, supaya tidak menambah daftar panjang pelanggaran HAM pada sektor bisnis dan ekonomi," jelas Shelma Theofany di Jakarta, Selasa (10/12).
BACA JUGA: Ribuan Pesan Harapan untuk Jokowi di Hari HAM InternasionalShelma Theofany juga mendorong pemerintah mengagendakan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dapat berkontribusi pada pemajuan HAM. Antara lain RKUHP yang berspektif HAM, RUU Perubahan UU ITE, RUU Kehutanan, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kepala Divisi Penanganan Kasus dan Perlindungan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sinung Karto menyoroti penyelesaian konflik agraria yang dilakukan pemerintah. Setara Institute memberikan skor yang rendah terkait penyelesaian konflik agraria yaitu 2,3.
Menurut Sinung, perhutanan sosial yang diklaim pemerintah sebagai solusi konflik agraria belum mampu menyelesaikan masalah masyarakat adat. Ia beralasan Surat Keputusan (SK) Hutan Adat yang sudah diberikan pemerintah masih jauh dari yang dicatat masyarakat yakni hanya 29 ribu hektar.
"Kita sudah menyerahkan 10,56 juta hektare peta wilayah adat, sekarang masih bergulir terus, kawan-kawan terus melakukan pemetaan. Dari 10,56 juta hektare itu ada hutan adat seluas 7,76 hektare. Sedangkan pencapaian Hutan Adat itu tidak sampai 30 ribu hektare," tutur Sinung.
Sinung menagih janji pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat adat dan membentuk satgas masyarakat untuk melindungi dan menyelesaikan kasus-kasus masyarakat adat. Ia juga berharap pemerintah dapat membentuk mekanisme nasional untuk menyelesaikan masyarakat-masyarakat adat.
Sekretaris Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam Agus menyoroti soal hak sipil dan politik yang mendapat skor 3, khususnya soal hak sipil di Papua dan Papua Barat. Menurutnya, pemerintah telah merampas hak sipil warga Papua dengan memutus akses internet dan menangkapi ratusan orang yang menyampaikan pendapat terkait aksi rasialisme di Surabaya, Jawa Timur.
BACA JUGA: KontraS: Hak Berkumpul di Era Jokowi Mengkhawatirkan"Dalam pemerintahan Jokowi juga ada tujuh tahanan politik yang dipindahkan dari Jayapura ke Balikpapan. Praktik ini mirip sekali dengan kolonial, bagaimana pemimpin-pemimpin bangsa kita diasingkan," katanya.
Syamsul juga mengkritik pendekatan keamanan yang dilakukan rezim Jokowi dengan menurunkan pasukan militer dalam meredam konflik-konflik yang terjadi di Papua. Pengiriman pasukan TNI-Polri tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan kekerasan di Papua.
Penegakan HAM
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta agar penegakan HAM tidak dilihat soal penegakan hukum semata. Hal tersebut disampaikan Mahfud saat memberikan pidato peringatan HAM di Bandung, Jawa Barat melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/12).
Menurutnya, sejak reformasi sudah banyak kemajuan dalam pembangunan perlindungan HAM di Indonesia. Beberapa buktinya antara lain penguatan demokrasi, kebebasan pers, dan kemandirian partai politik. Kendati demikian, Mahfud mengakui pelanggaran HAM masih ada, namun pelanggaran tersebut bersifat horisontal yakni dilakukan kelompok masyarakat.
Sementara untuk masalah ekonomi, sosial dan budaya, kata dia, pemerintah telah melakukan program-program pembangunan ekonomi, pengurangan angka kemiskinan dan bantuan sosial.
Terkait pelanggaran HAM masa lalu, pemerintah terus berusaha menyelesaikan melalui instrumen hukum yang tersedia. Salah satu upayanya yaitu dengan merencanakan pembuatan Undang-Undang (UU) Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau nama lain yang disepakati. [sm/ft]