LSM Setara Institute menyatakan bahwa masalah perizinan bangunan hanya alasan dalam perobohan gereja di Bekasi.
BEKASI —
Wakil direktur lembaga demokrasi dan perdamaian Setara Institute for Peace and Democracy, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan masalah izin mendirikan bangunan menjadi alasan dalam perobohan gereja di Bekasi.
“Masalahnya adalah pemerintah tidak memperlihatkan kemauan politik untuk menghentikan kasus intoleransi di negara ini. Pemerintah tidak menuntut hukum untuk ditegakkan dan pelakunya dihukum,” ujarnya pada kantor AFP, Kamis (21/3).
Pemerintah daerah Bekasi merobohkan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Taman Sari, Kamis, di depan jemaatnya yang menangis menyusul gangguan dari kelompok Muslim terhadap para pekerja bangunan dan menyebut umat Kristen itu “kafir.”
Puluhan orang dari 100 anggota jemaat menangis saat gereja dirubuhkan, dan mereka menyebut pemerintah “mengkriminalisasi agama kami”.
“Hati saya sakit dan saya merasa hampa melihat gereja saya roboh. Saya telah datang ke gereja ini selama 11 tahun,” ujar Megarenta Sihite, 46, sambil berpelukan dengan umat yang lain.
“Gereja kami boleh roboh, namun keyakinan kami tidak. Kami akan terus datang ke sini untuk ibadah Minggu.”
Begitu dinding-dinding gereja, yang berada di tengah kemelut perencanaan kota, jatuh, polisi di Bekasi membubarkan 200 perempuan Muslim yang datang ke tanah gereja sambil mengumandangkan ayat-ayat Quran.
Sepanjang jalan dekat gereja, demonstran Muslim yang dihalangi oleh polisi berseru “Robohkan gereja sekarang”, dan "Allahu Akbar" (Tuhan Maha Besar).
Seorang pria berteriak lewat pengeras suara: “Mereka kafir dan membangun gereja tanpa izin.”
Para anggota jemaat sebelumnya meminta pemerintah Bekasi untuk menghentikan perobohan, dengan anak-anak yang membawa poster “jangan robohkan gereja kami.”
Pendeta Advent Nababan menangis saat bangunan dirobohkan.
“Anda baru menyaksikan bagaimana pemerintah mengkriminalisasi agama kami,” ujarnya.
Pemerintah daerah telah memerintahkan perobohan gereja yang dibangun pada Oktober 2012 karena tidak memiliki izin.
Namun, jemaat mengatakan izin telah berulangkali dan secara tidak adil setelah mereka menghabiskan 13 tahun beribadah di tanah tersebut di dalam bangunan sementara.
Pendeta Nababan mengatakan gereja telah mendapat dukungan luas dari komunitas Muslim sebelum pembangunan dimulai. Beberapa tetangga mengkonfirmasi hal tersebut pada AFP bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan adanya gereja di lingkungan mereka.
Kasus ini menambah panjang kasus intoleransi agama di Indonesia. Setara mengatakan kasus intoleransi terus meningkat, dengan 543 peristiwa pada 2011, naik dari 491 kasus pada 2009. Lebih dari 300 insiden dicatat pada setengah tahun pertama 2012.
Umat Kristen merupakan salah satu target utama, bersama dengan pengikut sekte minoritas Islam, Ahmadiyah dan Syiah.
Gereja HKBP merupakan target terdepan dalam serangan di Bekasi. Salah seorang jemaat dilempari telur busuk dan air kencing oleh pemrotes dari kelompok Muslim yang mencegah mereka masuk ke tanah mereka, dan menghalau mereka ke jalan.
Bonar mengatakan lebih dari 39 gereja HKBP di Bekasi sepertinya akan menghadapi masalah karena hanya 10 yang diberi izin bangunan. (AFP)
“Masalahnya adalah pemerintah tidak memperlihatkan kemauan politik untuk menghentikan kasus intoleransi di negara ini. Pemerintah tidak menuntut hukum untuk ditegakkan dan pelakunya dihukum,” ujarnya pada kantor AFP, Kamis (21/3).
Pemerintah daerah Bekasi merobohkan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Taman Sari, Kamis, di depan jemaatnya yang menangis menyusul gangguan dari kelompok Muslim terhadap para pekerja bangunan dan menyebut umat Kristen itu “kafir.”
Puluhan orang dari 100 anggota jemaat menangis saat gereja dirubuhkan, dan mereka menyebut pemerintah “mengkriminalisasi agama kami”.
“Hati saya sakit dan saya merasa hampa melihat gereja saya roboh. Saya telah datang ke gereja ini selama 11 tahun,” ujar Megarenta Sihite, 46, sambil berpelukan dengan umat yang lain.
“Gereja kami boleh roboh, namun keyakinan kami tidak. Kami akan terus datang ke sini untuk ibadah Minggu.”
Begitu dinding-dinding gereja, yang berada di tengah kemelut perencanaan kota, jatuh, polisi di Bekasi membubarkan 200 perempuan Muslim yang datang ke tanah gereja sambil mengumandangkan ayat-ayat Quran.
Sepanjang jalan dekat gereja, demonstran Muslim yang dihalangi oleh polisi berseru “Robohkan gereja sekarang”, dan "Allahu Akbar" (Tuhan Maha Besar).
Seorang pria berteriak lewat pengeras suara: “Mereka kafir dan membangun gereja tanpa izin.”
Para anggota jemaat sebelumnya meminta pemerintah Bekasi untuk menghentikan perobohan, dengan anak-anak yang membawa poster “jangan robohkan gereja kami.”
Pendeta Advent Nababan menangis saat bangunan dirobohkan.
“Anda baru menyaksikan bagaimana pemerintah mengkriminalisasi agama kami,” ujarnya.
Pemerintah daerah telah memerintahkan perobohan gereja yang dibangun pada Oktober 2012 karena tidak memiliki izin.
Namun, jemaat mengatakan izin telah berulangkali dan secara tidak adil setelah mereka menghabiskan 13 tahun beribadah di tanah tersebut di dalam bangunan sementara.
Pendeta Nababan mengatakan gereja telah mendapat dukungan luas dari komunitas Muslim sebelum pembangunan dimulai. Beberapa tetangga mengkonfirmasi hal tersebut pada AFP bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan adanya gereja di lingkungan mereka.
Kasus ini menambah panjang kasus intoleransi agama di Indonesia. Setara mengatakan kasus intoleransi terus meningkat, dengan 543 peristiwa pada 2011, naik dari 491 kasus pada 2009. Lebih dari 300 insiden dicatat pada setengah tahun pertama 2012.
Umat Kristen merupakan salah satu target utama, bersama dengan pengikut sekte minoritas Islam, Ahmadiyah dan Syiah.
Gereja HKBP merupakan target terdepan dalam serangan di Bekasi. Salah seorang jemaat dilempari telur busuk dan air kencing oleh pemrotes dari kelompok Muslim yang mencegah mereka masuk ke tanah mereka, dan menghalau mereka ke jalan.
Bonar mengatakan lebih dari 39 gereja HKBP di Bekasi sepertinya akan menghadapi masalah karena hanya 10 yang diberi izin bangunan. (AFP)