Di awal perang dingin antara AS-Uni Soviet pada tahun 1950an, persaingan di bidang angkasa lebih merupakan persaingan politik daripada sains, ujar mantan kosmonot Rusia dan wakil direktur Memorial Museum of Cosmonauts, Alexander Laveykin.
“Ketika itu ada persaingan besar antara kami dan Amerika: siapa yang akan meluncurkan satelit angkasa pertama? Dan ternyata, kami yang pertama," kata Laveykin.
Peluncuran satelit buatan manusia yang sukses itu, Sputnik 1, 58 cm bola metal dengan empat antena yang mengelilingi bumi dan mengirimkan sinyal sederhana, adalah pil pahit bagi masyarakat Amerika.
Kurang dari lima bulan setelah itu, pada Januari 1958, AS meluncurkan satelit pertama mereka, Explorer 1, yang menemukan sabuk radiasi Van Allen.
Tapi Soviet melakukan pembalasan pada bulan April 1961, ketika kosmonot pertama Yuri Gagarin mengelilingi planet bumi dan dengan sukses kembali ke bumi sebagai pahlawan.
Satu bulan kemudian, astronot Amerika pertama Alan Shepherd mencapai ketinggian suborbital dan kembali ke bumi.
“Pemandangannya indah sekali melalui periskop," kata Shepherd dari jarak yang jauh dari bumi. "Awan menutupi Florida, sepertiga sampai seperempat di atas pesisir timur, kabur sampai Hatteras.... Saya menanti dampaknya."
Tekanan publik dan politik yang berkembang memaksa Presiden saat itu John Kennedy untuk menetapkan tujuan lebih tinggi untuk Amerika: mendarat di bulan, kata kurator National Air and Space Museum, Kathleen Lewis.
“Di sisi Amerika Serikat, saya pikir ada keyakinan bahwa kami bisa melakukan segalanya dengan lebih baik," ujar Lewis.
Sebelum dekade berakhir, pada 20 Juli 1969, astronot Amerika Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang berjalan di bulan.
Pada tahun-tahun berikutnya, lomba di bidang angkasa melambat dan bergeser menjadi kerjasama ketika Washington dan Moskow melakukan pertemuan pertama di angkasa.
Akhirnya, persaingan semakin berkurang karena tugas untuk membangun stasiun angkasa internasional, hancurnya komunisme, dan keputusan NASA untuk mempensiunkan pesawat ulang-aliknya.
Menurut Kathleen Lewis dari National Air and Space Museum, persaingan geopolitikal antara AS dan Rusia di bumi tampaknya tidak terlalu mempengaruhi kerjasama angkasa.
“Anda tidak mau bertengkar soal politik ketika berada 325 km di atas bumi," ujarnya. "Tidak ada tempat lain, jadi Anda harus fokus pada hal-hal yang menjadi kesepakatan dan menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan perdebatan."
Saat ini, dua badan angkasa tersebut tidak punya rencana untuk kerjasama lebih besar, tapi lomba di bidang angkasa yang jelas hanya merupakan kenangan masa lalu.