Petugas pengadilan Prancis berusaha untuk menegakkan perintah pengadilan untuk menyita tiga properti pemerintah Malaysia di Paris. Penyitaan tersebut terkait dengan kemenangan ahli waris Sultan Sulu di meja hijau atas aset senilai $15 miliar, menurut pengacara ahli waris dan dokumen pengadilan yang didapat Reuters.
Petugas pengadilan mencoba menghitung nilai properti tersebut pada Senin (6/3) setelah pengadilan mengeluarkan perintah penyitaan pada Desember. Namun pejabat Kedutaan Malaysia di Paris menolaknya, kata pengacara dan pemerintah Malaysia.
Perselisihan tersebut bermula dari kesepakatan antara dua penjajah Eropa dan Sultan Sulu di Filipina yang ditandatangani pada 1878. Sang Sultan mengizinkan para penjajah menggunakan wilayahnya yang ternyata masuk ke dalam teritorial Malaysia saat ini, sebuah kesepakatan yang dihormati Malaysia hingga 2013. Kuala Lumpur mengambil alih wilayah tersebut setelah merdeka dari Inggris. Setiap tahun pemerintah Malaysia membayar sejumlah uang kepada ahli waris, yang merupakan warga negara Filipina.
Bendera nasional Malaysia yang tampak lusuh berkibar di depan Menara Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia. (Foto: AP)
Kuala Lumpur menghentikan pembayaran itu setelah adanya serangan berdarah para pendukung bekas kesultanan yang ingin merebut kembali tanah mereka dari Malaysia pada 2013. Para ahli waris Sultan, yang pernah menguasai wilayah yang mencakup pulau-pulau yang tertutup hutan hujan di Filipina selatan dan sebagian Pulau Kalimantan, mengatakan mereka tidak terlibat dalam serangan itu. Mereka membawa masalah itu ke pengadilan arbitrase.
Malaysia, yang tidak berpartisipasi dalam arbitrase, menyatakan proses penyitaan asetnya tersebut ilegal. Mereka mengatakan telah memperoleh penangguhan putusan di Prancis.
Properti Paris adalah set ketiga dari aset Malaysia yang diklaim ahli waris secara publik. Mereka telah mendapatkan perintah penyitaan untuk unit perusahaan minyak negara Petronas di Luksemburg dan telah meminta izin pengadilan Belanda untuk menyita aset di Belanda.
Putusan ini berlaku secara global terhadap sebagian besar aset Malaysia, selain dari premis diplomatik, di bawah konvensi PBB tentang arbitrase.
BACA JUGA: Pewaris Mendiang Sultan Klaim $15 Miliar, Aset Malaysia di Dunia Terancam
Seorang hakim Prancis pada Desember tahun lalu mengabulkan permintaan para ahli waris untuk menyita tiga properti pemerintah Malaysia di Paris untuk melunasi utang sebesar 2,3 juta euro ($2,46 juta) yang mereka katakan merupakan utang Malaysia kepada mereka, menurut dokumen pengadilan yang dibagikan oleh pengacara ahli waris.
Upaya penyitaan di Paris belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Malaysia diperintahkan untuk membayar ahli waris di bawah putusan arbitrase awal yang diberikan kepada mereka di Spanyol, yang tidak terikat dengan masa tinggal di Prancis, kata pengacara tersebut.
Kementerian Hukum Malaysia tidak menanggapi permintaan komentar atas keputusan awal tersebut.
Jamalul Kiram III, mantan Sultan Sulu wilayah Filipina selatan di depan Masjid Biru di Taguig, selatan Manila, 22 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Romeo Ranoco)
Hakim Prancis juga menemukan bahwa properti yang terletak di wilayah administrasi ke-16 dekat Kedutaan Malaysia di Paris, tidak memenuhi syarat sebagai tempat diplomatik, menurut dokumen pengadilan.
Tidak seperti kedutaan, tempat tersebut tidak memiliki papan nama resmi dan tidak dikenakan pembebasan pajak Prancis, kata hakim.
Pada Senin (6/3), juru sita Perancis berusaha untuk mengevaluasi nilai tiga properti itu, kata para pengacara. Hasil penjualan akan diberikan kepada para ahli waris.
Seorang juru bicara kementerian hukum Malaysia mengatakan petugas pengadilan muncul di Kedutaan Malaysia di Paris, tetapi ditolak. Mereka menolak berkomentar lebih lanjut. Kementerian Luar Negeri Malaysia dan kedutaan besarnya di Paris menolak berkomentar.
Mantan Sultan Sulu Jamalul Kiram III (duduk di kanan) bersama para pengikutnya memasang plakat di depan Masjid Biru di desa Maharlika, kota Taguig, selatan Manila, 1 Maret 2013. (Foto: Reuters)
Reuters tidak dapat memastikan apakah petugas pengadilan mencoba memasuki ketiga properti yang tunduk pada perintah penyitaan.
Paul Cohen, pengacara ahli waris, mengatakan perintah pengadilan itu "tidak ambigu" dalam arahannya untuk menyita properti dan bahwa pengadilan akan memutuskan langkah selanjutnya.
Bulan lalu, petugas pengadilan Luksemburg mengeluarkan perintah penyitaan untuk dua unit Petronas terkait kasus tersebut. Perusahaan mengatakan tindakan ahli waris tidak berdasar dan akan terus mempertahankan posisi hukumnya.
Malaysia sebelumnya berjanji akan mengambil semua langkah hukum untuk melindungi asetnya di seluruh dunia. [ah/rs]