Sidang Majelis Umum PBB Diwarnai Defisit Kepercayaan

Presiden AS Donald Trump berbicara pada Sidang Majelis Umum PBB di New York tahun lalu (foto: dok).

Planet bumi yang semakin panas dan upaya mengatasi perubahan iklim akan menjadi sorotan utama ketika para pemimpin dunia berkumpul dalam sidang majelis umum PBB minggu ini. Sidang itu dilatarbelakangi fenomena tak terbantahkan yaitu meningkatnya ketegangan dari Teluk Persia hingga ke Afghanistan, meningkatnya rasa nasionalisme, ketidaksetaraan dan intoleransi.

Tumbuhnya ketakutan akan tindakan militer – terutama dalam menanggapi serangan baru-baru ini terhadap beberapa instalasi minyak Arab Saudi yang merupakan pemasok energi dunia – akan tergantung pada sidang PBB tahun ini. Kegelisihan dunia ini diperburuk oleh konflik dan krisis global, dari Suriah dan Yaman, hingga ke Venezuela; dari perselisihan antara Israel-Palestina hingga kebuntuan perundingan Pakistan-India atas Kashmir.

Seluruh perhatian akan diarahkan kepada Presiden Amerika Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani, yang negaranya sedang terlibat ketegangan, untuk melihat apakah mereka dapat mengurangi kekhawatiran akan terjadinya konfrontasi, yang berdampak pada Timur Tengah dan di wilayah-wilayah lain. Apakah keduanya akan bertemu, masih menjadi pertanyaan.

“Dunia kita, yang penuh keributan, membutuhkan kerjasama internasional lebih erat dibanding sebelumnya,” ujar Sekjen PBB Antonio Guterres, “tetapi hanya mengatakan hal itu, tidak akan mewujudkannya. Mari kita hadapi hal itu. Kita tidak punya waktu untuk kalah.”

Sidang Umum PBB tahun ini, yang dimulai hari Selasa, 30 September, akan diikuti oleh 136 pemimpin dari 193 negara anggota PBB. Besarnya jumlah pemimpin yang hadir mencerminkan meningkatnya fokus dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan kondisi perdamaian dan keamanan yang di ujung tanduk.

Negara-negara lain akan diwakili oleh para menteri dan wakil presiden, kecuali Afghanistan, yang pemimpin-pemimpinnya sedang berkampanye menjelang pemilu presiden 28 September. Juga Korea Utara, yang menurunkan wakil yang dikirimnya, dari menteri menjadi duta besar. Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga membatalkan rencana menghadiri sidang ini dan mengirim menteri mereka.

Minggu lalu Guterres mengulangi peringatannya bahwa “ketegangan sedang memuncak.” Dunia, ujarnya, “berada dalam saat-saat kritis di sejumlah hal: darurat iklim, meningkatnya ketidaksetaraan, meningkatnya kebencian dan intoleransi, dan sejumlah tantangan keamanan dan perdamaian yang mengkhawatirkan.”

Dengan begitu banyak raja, presiden dan perdana menteri yang datang tahun ini, “kami berkesempatan untuk memajukan diplomasi bagi perdamaian,” ujar Guterres. “Inilah saat mendinginkan ketegangan.”

Apakah hal ini akan benar-benar terjadi atau tidak, masih harus ditunggu. Namun banyak diplomat tidak optimis. (em/ii)