Bagi warga Pacitan seperti Sugeng Widodo, peristiwa hujan lebat disertai angin kencang yang membuat kotanya tenggelam baru kali ini terjadi. Seperti wilayah lain di Indonesia, Pacitan juga kadang mengalami banjir kecil di puncak musim hujan. Namun dampaknya tidak pernah separah hari Selasa kemarin.
“Belum, saya belum pernah mengalami, baru kali ini. Kalau kali ini, kan sampai tanggul sungai saja jebol. Kalau dulu, sungai hanya meluap ke sebelah sisi timur kota di Seloboyo. Waktu itu juga debit hujannya tidak seperti sekarang ini, siangnya juga air sudah surut. Kalau seperti sekarang ini kan surutnya lama,” kata Sugeng Widodo.
Totok, warga Tanjungsari, Gunungkidul pun tak percaya dengan apa yang terjadi. Sekolah tempatnya belajar dulu, yang berada sekitar empat kilometer dari pantai, digenangi air setinggi dua meter. Hanya bangunan di lokasi tinggi yang relatif aman. Lebih dekat ke laut, kata Totok, banyak bangunan tenggelam terutama di lokasi rendah. “Ini titik terendah di kawasan sekitar, jadi air ke sini semua. Ada luweng (gua vertikal) di mana air mengarah masuk ke sungai bawah tanah. Cuma lubangnya kecil, jadi air surutnya lama,” kata Totok.
Hujan disertai angin selama dua hari berturut-turut memang melanda kawasan ini. Mulai dari Pacitan di Jawa Timur, kemudian Wonogiri dan Klaten di Jawa Tengah, hingga Gunung Kidul, Bantul, Kulonprogo di Yogyakarta dan Purworejo di Jawa Tengah. Ini adalah deretan wilayah dengan dampak paling parah.
Tidak mengherankan jika siklon tropis Cempaka menjadi bahan perbincangan bagi sebagian besar korban, baik di Pacitan maupun wilayah sekitarnya. Namanya yang indah, seperti bunga yang banyak ditanam di halaman rumah, rupanya menyimpan bencana hebat di belakangnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, sejauh ini Cempaka sudah merenggut 19 korban jiwa. Dari jumlah itu, 11 korban di Pacitan, tiga di Kota Yogyakarta, dua di Wonogiri, dan masing-masing satu korban di Bantul, Gunung Kidul, dan Wonosobo. Empat korban meninggal karena banjir dan 15 orang korban tanah longsor.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rabu siang menyatakan wilayahnya masuk status siaga. Dengan menyatakan diri dalam status itu, pemerintah lokal lebih leluasa menggunakan anggaran penanggulangan bencana untuk meminimalkan korban. DIY cukup parah diterjang Cempaka yang mengakibatkan banjir di 84 titik, longsor di 93 titik dan angin puting beliung di 116 titik. Sebanyak 8.500 jiwa terdampak bencana ini dengan 1.500 di antaranya terpaksa mengungsi.
“Menurut BMKG, hujan ekstrem ini 'kan tiga hari. Saya berharap dengan status siaga ini dana cadangan di kabupaten dan provinsi bisa digunakan, untuk memperbaiki fasilitas maupun menolong korban di pengungsian. Karena peringatan BMKG tiga hari, maka status siaga kita tetapkan satu minggu,” papar Sultan HB X.
Siklon tropis belum akrab bagi masyarakat Indonesia. Tahun 2008, muncul siklon yang kemudian diberi nama Durga. Tahun itu pula, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendirikan Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis. Setahun kemudian, muncul siklon yang kemudian diberi nama Anggrek.
Tahun 2014, sesuai kesepakatan untuk memberi nama seperti bunga, datang siklon Bakung. Hanya itulah siklon tropis yang benar-benar muncul di Indonesia setelah memiliki pusat peringatan dini tersebut.
Dr Armi Susandi, ilmuwan cuaca dan perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat, di era 1980-an, Indonesia belum mengenal siklon tropis. Baru pada periode akhir 1990-an dan 2000-an, siklon tropis mulai masuk ke wilayah Indonesia. Namun, posisinya masih jauh dari pantai sehingga nyaris tidak berdampak pada masyarakat.
Cempaka adalah siklon tropis pertama yang mendekat ke wilayah pantai, dengan jarak terdekat 32 kilometer. Indonesia perlu bersyukur, karena menurut Armi, bencana awal pekan ini baru setengah dari kekuatan siklon sebenarnya.
Cempaka memiliki kecepatan 150 km/jam dengan curah hujan 150-200 milimeter per 3 jam. Kecepatan angin dan curah hujan yang masuk ke daratan, seperti di Pacitan, cuma sepertiga dari angka itu. Menurut Armi, hanya ekor siklon yang mendekat ke daratan, belum siklonnya itu sendiri.
“Ada dua penyebab terbentuknya siklon, pertama tekanan rendah di permukaan laut, dulu memang ada tapi tidak seekstrem saat ini yang sudah mencapai lebih 1000 milibar. Kedua, ditambah hangatnya permukaan laut yang mencapai 26,5 (derajat). Kedua kondisi ini menyebabkan terbentuknya siklon di Indonesia, dulunya tidak ada kondisi seperti itu, artinya belum memungkinkan terbentuknya siklon. Secara teori sebenarnya siklon akan mati di ekuator, tapi sekarang teori itu terbantahkan,” kata Armi Susandi.
Your browser doesn’t support HTML5
Armi Susandi percaya, pemanasan global berperan dalam bencana kali ini. Meningkatnya suhu telah menyebabkan anomali cuaca di banyak daerah termasuk di Indonesia. Menurutnya, meskipun Indonesia bukan penyumbang terbesar pemanasan global, tetapi karena bumi memiliki satu atmosfer, maka anomali bisa terjadi di manapun.
“Kita kaget sebenarnya, padahal ini akan terjadi seperti halnya di Filipina. Di Filipina, tahun 80-an siklon hanya tiga kali setahun, sekarang 24 kali setahun. Ini menyebabkan harus banyak perubahan regulasi, infrastruktur dan kesiapan masyarakatnya. Dan siklon seperti ini tidak hanya akan muncul di musim pancaroba,” tambah Armi.
Indonesia sebenarnya sudah cukup siap saat ini. Dikatakan Armi Susandi, sistem yang diterapkan di ITB, BNPB dan BMKG cukup mampu mendeteksi dini siklon. Tugas pemerintah, ada di sektor pembenahan infrastruktur dan tata ruang di wilayah potensi siklon, seperti Jawa Tengah, DIY, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Barat. [ns/ab]