Singapura Kekurangan Lahan Pemakaman

Seorang penggali kuburan bersiapkan memindahkan kuburan di taman pemakaman Bukit Brown, Singapura. (Reuters/Edgar Su)

Karena lahan yang makin lama makin sempit, tempat pemakaman di Singapura memiliki batas pemakaian dan seringkali tergusur untuk peruntukan lain.
Mulai awal tahun depan, para pekerja dengan alat berat akan mulai membangun jalan layang delapan jalur melintasi tempat pemakaman besar tertua di negara pulau ini, meski ada keberatan dari pencinta lingkungan dan warisan budaya.

Singapura, dengan penduduk 5,3 juta orang yang memadati pulau berukurang setengah London, sudah lebih padat dibandingkan rival bisnisnya, Hong Kong, yang membuat lahan pemakaman menjadi masalah.

Seluruh wilayah Bukit Brown, tempat peristirahatan terakhir untuk lebih dari 100.000 orang, termasuk pengusaha pelopor Singapura dan keluarga mereka, nantinya akan digunakan sebagai perumahan. Paling tidak nama 30 orang yang dimakamkan di sana telah digunakan sebagai nama jalan.

Beberapa keluarga telah mulai memindahkan makam nenek moyang mereka, dan pihak berwenang berencana menggali kuburan sisanya pada Januari.

Namun masyarakat pencinta alam Nature Society Singapore dan kelompok lainnya ingin supaya Bukit Brown dibiarkan karena merupakan daerah hutan dan “harta karun alam dan sejarah.” Lembaga lain, Komunitas Bukit Brown, telah mengadakan tur mingguan untuk meningkatkan kesadaran akan kekayaan wilayah tersebut di masa lalu.

“Tidak ada pemakaman lain seperti Bukit Brown. Jumlah informasi sejarah yang dapat kita temukan dan kekayaan budaya, wariwan dan tradisi Cina yang ada di sana adalah unik,” ujar Raymond Goh, anggota pendiri Komunitas Bukit Brown.

Fotografer Shawn Danker, yang baru-baru ini mengadakan pameran foto untuk meningkatkan kesadaran akan Bukit Brown, mencontohkan ada hubungan warga Singapura dengan kelompok nasionalis yang menggulingkan Dinasti Ching pada 1911.

Pada nisan pemimpin komunitas Tan Boon Liat, ada gambar 12 garis cahaya matahari, yang menggambarkan hubungan lamanya dengan Sun Yat Sen serta Kuomintang yang memiliki logo matahari putih dengan 12 garis cahaya pada latar belakang biru.
Tan, yang meninggal pada 1930an, adalah cicit dari filantropis Tan Tock Seng, yang namanya dipakai oleh salah satu rumah sakit terbesar di negara pulau tersebut.

“Jika ada situs di Singapura yang pantas mendapat nominasi UNESCO, itu adalah Bukit Brown,” ujar Goh dari Komunitas Bukit Brown, mengacu pada penamaan warisan bangsa oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa itu, yang oleh banyak negara dipakai untuk meningkatkan pariwisata.

Pada 1998, pemerintah Singapura mengumumkan kebijakan untuk membatasi periode pemakaman menjadi 15 tahun. Setelah itu jenazah akan digali dan dikremasi atau dipindahkan ke lahan yang lebih kecil.

“Langkah tersebut adalah untuk membantu mengintensifkan penggunaan lahan di tempat pemakaman dan mengatasi kekurangan lahan,” ujar juru bicara Dinas Lingkungan Nasional.

Pembatasan di Hong Kong lebih keras lagi, dengan periode hanya enam tahun. Jika keluarga tidak memindahkan makam, pihak berwenang akan menggali dan mengkremasi sisa jenazah, kemudian mengubur abunya di pemakaman komunal.

Dinas Lingkungan Singapura mengatakan lebih banyak orang sekarang memilih kremasi daripada dikuburkan, dengan proporsi yang meningkat dari 66 persen pada 1992 menjadi 80 persen pada 2011.

Ang Jolie, direktur pemakaman di rumah duka Ang Yew Seng Funeral Parlour, dengan mayoritas klien keturunan Cina, yang merupakan 75 persen penduduk Singapura, mengatakan kebutuhan memindahkan jenazah setelah 15 tahun adalah alasan utama banyak yang memilih kremasi.

“Generasi yang lebih muda lebih pragmatis dan mereka tidak ingin membebani generasi yang akan datang dengan penggalian kubur,” ujarnya. (Reuters/Kevin Lim dan Eveline Danubrata)