Sistem Pendidikan Indonesia Wajib Akomodasi Kelompok Kepercayaan

  • Nurhadi Sucahyo

SMK 7 Semarang (Foto: dok SMK 7)

Di luar enam agama yang diakui pemerintah secara resmi, di Indonesia ada sejumlah aliran kepercayaan dengan jutaan penganutnya. Namun sampai saat ini, sistem pendidikan di Indonesia belum mengakui fakta itu, sehingga menimbulkan banyak masalah.

Belajar dan mengamalkan ajaran agama yang tidak sesuai dengan kepercayaan sendiri tentu saja berat. Itulah yang dialami Zulfa Nur Rahman, seorang siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 7 Semarang, Jawa Tengah.

Your browser doesn’t support HTML5

Sistem Pendidikan Indonesia Wajib Akomodasi Kelompok Kepercayaan

Setelah tiga semester mengikuti pelajaran salah satu agama sebagai syarat mendapatkan nilai, di semester 4 dia tidak bersedia lagi. Alhasil pihak sekolah tidak bisa menaikkannya ke kelas XII, atau kelas terakhir di jenjang pendidikan ini. Meski nilai seluruh mata pelajaran lain bagus, tanpa nilai mata pelajaran agama, sesuai aturan yang ada, Zulfa tidak mungkin naik kelas.

Kasus Zulfa bukan yang pertama. Sebelum ini seorang siswa di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, juga mengalami persoalan serupa. Sebagai penganut kepercayaan Sedulur Sikep, siswa ini tidak mengikuti pelajaran agama di sekolah.

Siti Rofiah dari Lembaga Studi Sosial dan Agama, eLSA, Semarang kepada VOA menyatakan, di Kudus jalan keluar yang diambil adalah menyertakan peran serta orang tua dalam pemberian nilai. Sekolah tidak memiliki guru untuk siswa penganut kepercayaan tertentu, dan karena itu solusi-solusi di tingkat lokal harus diambil.

Siti mengatakan, ini adalah masalah nasional, karena itu pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus mengambil kebijakan untuk melindungi siswa penganut kepercayaan di Indonesia.

"Kita harus kembali pada nilai-nilai Hak Asasi Manusia itu sendiri. Bagaimana itu kemudian juga diakomodir dalam sistem pendidikan. Pemerintah harus mulai memikirkan, bagaimana anak-anak yang memeluk keyakinan diluar agama yang dalam tanda petik dianggap sebagai agama resmi, itu juga harus diperhatikan," lanjut Siti.

Siti Rofiah melihat, selama ini tercipta kondisi yang menyudutkan siswa-siswa penganut kepercayaan di sekolah. Dalam data yang dimiliki eLSA, Jawa Tengah adalah daerah yang memiliki jumlah penganut kepercayaan yang besar, sekitar 200 ribu orang dari 50 organisasi lebih.

Karena besarnya jumlah penganut kepercayaan, kasus siswa yang terpaksa menjalankan agama lain di sekolah jumlahnya banyak. Mayoritas siswa penganut kepercayaan ini terpaksa berkompromi dengan aturan sekolah agar tetap memperoleh nilai. Siti melihat ini sebagai tekanan batin luar biasa bagi siswa bersangkutan, karena selama di sekolah harus belajar dan mempraktekkan agama berbeda dengan apa yang diyakini dan dipraktekkan di rumah dalam kehidupan sehari-hari.

“Kadang secara psikologis anak itu mengalami tekanan. Di rumah kan dia menganut aliran kepercayaan, tetapi kemudian dia di sekolah dia diwajibkan untuk belajar, dan kadang guru-gurunya itu ada yang menyisipkan pesan-pesan dan ajakan-ajakan agar siswa itu bertaubat. Seolah-olah apa yang dia yakini itu salah. Itu kan sebuah penghakiman, dan kalau itu terjadi pada anak itu kasihan sekali, karena dia pasti bingung," ujar Siti.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Achmad Zaid yang turut melakukan observasi persoalan ini mengaku, sekolah dan pemerintah daerah tidak mungkin mengambil kebijakan final terhadap kasus semacam ini.

Dihubungi VOA Kamis pagi, Zaid mengatakan bahwa dalam klarifikasi dengan seluruh pihak, ditemukan fakta bahwa persoalan ini bermula sejak proses pendaftaran siswa. Zulfa sendiri menyatakan menganut salah satu agama dan demikian pula keterangan yang tercatat di Kartu Keluarga-nya. Sebagai siswa dia masih mau belajar agama dalam tataran teori di sekolah. Namun kemudian di semester 4, dimana ada banyak kegiatan praktik ajaran agama di sekolah, Zulfa dan orang tuanya merasa tidak bisa mengikuti lagi. Achmad Zaid mendesak negara segera hadir dalam persoalan semacam ini, agar tidak muncul korban kasus serupa di wilayah lain di Indonesia.

"Kami tetap akan mengawal kasus ini. Mudah-mudahan negara segera hadir sehingga tidak ada Zulfa-Zulfa yang lain. Kebetulan penganut kepercayaan paling banyak kan ada di Jawa Tengah, di seluruh Indonesia. Mudah-mudahan ini menjadi yurisprudensi atau menjadi pintu awal agar negara segera hadir, agar setiap masyarakat, setiap warga negara mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan dan beragama," kata Zaid.

Zaid juga menegaskan, tidak ada pemaksaan selama ini dari pihak sekolah dalam kaitan agama atau kepercayaan siswa. Tidak adanya regulasi yang menjamin hak-hak siswa penganut kepercayaan adalah faktor utamanya. Undang-undang Dasar 1945 telah menjamin hak setiap warga negara memeluk agama atau kepercayaan masing-masing. Masalahnya, hingga saat ini pemerintah tidak menyediakan kurikulum dan guru khusus bagi siswa penganut kepercayaan itu.