Kesalahpahaman akan Islam lazim di antara warga Amerika. Namun, di sejumlah universitas Amerika, para Imam memanfaatkan pendidikan dan media untuk membantu warga lebih memahami Islam.
WASHINGTON, DC —
Sejak 1999, Yahya Hendi sudah menjabat sebagai imam di Georgetown University. Kampus ini merupakan universitas Amerika pertama yang merekrut imam penuh waktu. Imam Hendi punya misi meningkatkan pengetahuan tentang Islam kepada para mahasiswa, tidak hanya yang Muslim, tapi juga yang non-Muslim.
“Tugas saya: saya mengajar, mendidik dan membimbing spiritual dan akademik," ujar Imam Hendi. "Saya banyak mengajarkan pendidikan pra-nikah, bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Saya orang yang dicari jika ada masalah yang berhubungan dengan Muslim di Georgetown. Mereka mencari keahlian saya.”
Ia yakin, dialog antaragama mampu memperkaya dan meningkatkan kualitas diri warga Amerika Serikat dari berbagai latar belakang. Kelas "Inter-religious Encounter" atau interaksi antaragama dibinanya bersama seorang pemuka agama Yahudi dan Kristen.
“Kelas ini diterima dengan baik karena mahasiswa kami melihat kita beraksi. Ada ketidaksetujuan di antara agama-agama ini, namun kita memiliki banyak kesamaan," katanya."
Selain itu, tuturnya," Mereka melihat ketidaksetujuan kita secara beradab. Tidak mengapa anda berbeda dari saya, dan saya berbeda dari anda. Anda tidak perlu salah, untuk saya menjadi benar. Saya tidak perlu menjadi buruk untuk anda menjadi baik, bersama-sama kita bisa menjadi baik dan benar.”
Mahasiwa Muslim, menurutnya, memiliki kebutuhan dan pertanyaan yang sama dengan mahasiwa agama lain, walaupun kadang mahasiswa Muslim mengalami benturan budaya saat berbagi tentang kepercayaan mereka dengan non-Muslim. Pasca 11 September, peran Imam Hendi semakin intensif.
“Saya sering diminta berbicara mengenai Islam di gereja-gereja dan kampus-kampus. Apa sejatinya pesan Islam? Apakah Islam menentang para wanita atau apakah Islam mendukung para wanita? Apakah Islam menentang kekerasan atau apakah Islam mendukung kekerasan? Apakah Islam sebuah agama yang damai atau sebuah agama yang pro peperangan, dan orang-orang selalu dikejutkan ketika mengetahui bahwa kata Islam berasal dari kata ‘damai’,” ia menjelaskan.
Sejak bertugas, Imam Hendi telah membuka sebuah musholla dan mengelola sejumlah aktivitas rutin seperti sarasehan dua kali setahun, serta acara buka puasa bersama selama berlangsungnya Ramadan.
“Sebagai Imam, saya berfokus untuk mendidik mahasiswa kami pada sholat Jumat, dalam berbagai pembicaraan dan diskusi kita, di musholla," ujarnya. "Bagaimana mereka bisa menjalankan Muslim yang baik? Bagaimana mereka bisa berhasil mengejar cita-citanya? Menjadi dokter, insinyur, sarjana ilmu politik, pakar etika yang baik dan (nantinya) mereka akan mewakili Islam dengan sangat baik.”
Hendi berpartisipasi dalam berbagai perayaan di universitas, termasuk dalam wisuda tahun ini.
Dengan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas kampus, seperti dalam wisuda Mei lalu, Imam Hendi berharap dapat menyebarkan informasi mengenai Islam kepada kalangan luas.
“Tugas saya: saya mengajar, mendidik dan membimbing spiritual dan akademik," ujar Imam Hendi. "Saya banyak mengajarkan pendidikan pra-nikah, bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Saya orang yang dicari jika ada masalah yang berhubungan dengan Muslim di Georgetown. Mereka mencari keahlian saya.”
Ia yakin, dialog antaragama mampu memperkaya dan meningkatkan kualitas diri warga Amerika Serikat dari berbagai latar belakang. Kelas "Inter-religious Encounter" atau interaksi antaragama dibinanya bersama seorang pemuka agama Yahudi dan Kristen.
“Kelas ini diterima dengan baik karena mahasiswa kami melihat kita beraksi. Ada ketidaksetujuan di antara agama-agama ini, namun kita memiliki banyak kesamaan," katanya."
Selain itu, tuturnya," Mereka melihat ketidaksetujuan kita secara beradab. Tidak mengapa anda berbeda dari saya, dan saya berbeda dari anda. Anda tidak perlu salah, untuk saya menjadi benar. Saya tidak perlu menjadi buruk untuk anda menjadi baik, bersama-sama kita bisa menjadi baik dan benar.”
Mahasiwa Muslim, menurutnya, memiliki kebutuhan dan pertanyaan yang sama dengan mahasiwa agama lain, walaupun kadang mahasiswa Muslim mengalami benturan budaya saat berbagi tentang kepercayaan mereka dengan non-Muslim. Pasca 11 September, peran Imam Hendi semakin intensif.
“Saya sering diminta berbicara mengenai Islam di gereja-gereja dan kampus-kampus. Apa sejatinya pesan Islam? Apakah Islam menentang para wanita atau apakah Islam mendukung para wanita? Apakah Islam menentang kekerasan atau apakah Islam mendukung kekerasan? Apakah Islam sebuah agama yang damai atau sebuah agama yang pro peperangan, dan orang-orang selalu dikejutkan ketika mengetahui bahwa kata Islam berasal dari kata ‘damai’,” ia menjelaskan.
Sejak bertugas, Imam Hendi telah membuka sebuah musholla dan mengelola sejumlah aktivitas rutin seperti sarasehan dua kali setahun, serta acara buka puasa bersama selama berlangsungnya Ramadan.
“Sebagai Imam, saya berfokus untuk mendidik mahasiswa kami pada sholat Jumat, dalam berbagai pembicaraan dan diskusi kita, di musholla," ujarnya. "Bagaimana mereka bisa menjalankan Muslim yang baik? Bagaimana mereka bisa berhasil mengejar cita-citanya? Menjadi dokter, insinyur, sarjana ilmu politik, pakar etika yang baik dan (nantinya) mereka akan mewakili Islam dengan sangat baik.”
Hendi berpartisipasi dalam berbagai perayaan di universitas, termasuk dalam wisuda tahun ini.
Dengan mengambil bagian dalam berbagai aktivitas kampus, seperti dalam wisuda Mei lalu, Imam Hendi berharap dapat menyebarkan informasi mengenai Islam kepada kalangan luas.