Sri Lanka Ikut Dalam Perjanjian Pelarangan Ranjau

  • Lisa Schlein

Seorang petugas membersihkan ranjau darat (foto: ilustrasi).

Sri Lanka menjadi negara ke-163 yang bergabung dalam Perjanjian Pelarangan Ranjau, yang melarang penggunaan, produksi, penimbunan dan pengiriman senjata yang dianggap negara-negara itu sebagai barbar. Para aktivis mengatakan keikutsertaan Sri Lanka dalam perjanjian itu akan meningkatkan upaya menciptakan dunia yang bebas ranjau menjelang tahun 2025.

Para aktivis perjanjian itu berharap keikutsertaan Sri Lanka dalam Perjanjian Pelarangan Ranjau akan mengilhami tiga negara Asia Selatan lainnya - Pakistan, Nepal dan India untuk bergabung dalam Konvensi itu. Firoz Alizada adalah manajer kampanye dan komunikasi Kampanye Internasional untuk Pelarangan Ranjau Darat.

Ia mengatakan kepada VOA bahwa keputusan Sri Lanka bergabung dalam Konvensi itu menambah stigma global terhadap ranjau darat dan akan membantu mengurangi jumlah korban sipil di dalam negeri dari senjata yang tidak manusiawi dan tanpa pandang bulu ini.

"Keputusan ini diharapkan membantu Sri Lanka untuk mempercepat, membersihkan dan menghancurkan ranjau darat tersebut dan juga memberikan bantuan kepada sejumlah besar korban ranjau darat di negara ini," ujar Alizada.

Selanjutnya, Alizada mengatakan ranjau darat telah menewaskan dan melukai lebih dari 22.000 orang di Sri Lanka selama bertahun-tahun.

Laporan Pemantauan Ranjau Darat 2017, yang diterbitkan pada hari Kamis (14/12), mengatakan bahwa Myanmar dan Suriah adalah satu-satunya negara yang menggunakan ranjau darat selama tahun lalu. Alizada mengatakan tidak ada negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.

"Angkatan bersenjata Myanmar menggunakan ranjau darat di perbatasan negara itu dengan Bangladesh, yang sudah kita kecam karena ranjau darat yang digunakan pada dasarnya menyasar Rohingya yang melarikan diri dari negara itu. Ranjau darat juga digunakan di Suriah," tambahnya.

Pemantauan itu melaporkan lebih dari 8.600 korban ranjau tahun lalu, termasuk korban tewas sekurangnya 2.089. Ini merupakan jumlah korban tahunan tertinggi sejak 1999. Pemantauan Ini menyebut Yaman, Libya, Afghanistan, Myanmar dan Ukraina sebagai negara dengan korban terbanyak. [my/al]