Sri Sultan Ingin Akhiri Polemik di Kasultanan Yogyakarta

  • Munarsih Sahana

Sri Sultan Hamengkubuwono X didampingi permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas (dan moderator), memberikan penjelasan tentang dua pengumuman yang menimbulkan kontoversi yaitu Sabdo Rojo dan Dhawuh Rojo, 8 Mei 2015 (Foto: VOA/Munarsih).

Sultan mengeluarkan Dhawuh Rojo atau Perintah Raja yang isinya mengganti nama putri sulungnya dan mengangkatnya menjadi Putri Mahkota Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat.

Sultan Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X, Jumat petang (8/5) menjelaskan kepada masyarakat dan budayawan Yogyakarta mengenai Sabda Raja dan Dhawuh (perintah) Raja yang telah menimbulkan polemik di masyarakat maupun di dalam Kraton Yogyakarta dalam beberapa hari ini.

Pada 30 April 2015 lalu Sultan mengeluarkan Sabdo Rojo (Sabda Raja) yang isinya antara lain mengubah nama dan gelar Sultan menjadi Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya Ing Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo.

Lalu, tanggal 5 Mei 2015 Sultan mengeluarkan Dhawuh Rojo atau Perintah Raja yang isinya mengganti nama putri sulungnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram dan mengangkatnya menjadi Putri Mahkota Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat.

Kedua pengumuman Sultan tersebut mendapat penolakan dari dalam Kraton terutama dari sejumlah adik laki-laki Sultan yang berpendapat bahwa Sultan telah melanggar paugeran (aturan) Kraton. Di sejumlah tempat terpampang spanduk bertuliskan penolakan tersebut.

Oposisi juga datang dari masyarakat, termasuk Sukiman Hadiwijoyo, ketua Asosiasi Pamong Desa Semar Sembogo. Ia khawatir pergantian nama Sultan melanggar Undang Undang No. 13/2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta dan implikasinya akan dirasakan seluruh warga DIY.

"Pada Undang Undang Keistimewaan (Yogyakarta) itu, siapapun Sultan yang bertahta itu pasti gubernur. Kalau gubernurnya itu, nyuwun sewu (maaf), namanya tidak sesuai dengan Undang Undang Keistimewaan ya ini bisa dikatakan tidak bisa masuk dalam Undang Undang Keistimewaan. Namanya yang komplit itu Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah,” kata Sukiman Hadiwijoyo.

Jumat petang, bertempat di nDalem Wironegaran yang merupakan kediaman putri sulungnya yang kini bernama GKR Mangkubumi, Sultan Hamengkubuwono ke-10 membacakan secara utuh naskah asli Sabdo Rojo dan Dhawuh Rojo serta menjelaskannya secara panjang lebar.

Menurut Sultan, apa yang dilakukannya semata-mata mengikuti petunjuk Tuhan dan pesan para leluhurnya yang tidak mungkin ia tolak.

“Saya hanya terima dhawuh lantaran eyang-eyang untuk mengeluarkan Sabdo Rojo (Sabda Raja) dan Dhawuh Rojo (Perintah Raja). Tidak ada urusannya dengan Undang Undang Keistimewaan. Kalau kita bicara Undang Undang Keistimewaan, urusane manungso sing isih urip (itu urusan manusia yang masih hidup),” kata Sri Sultan.

Dih adapan hampir dua ribu warga Yogyakarta, termasuk para budayawan, akademisi dan wartawan, Sultan mengajak hadirin maupun adik-adiknya yang tidak hadir agar menggunakan hati nurani dalam memahami Sabdo Rojo maupun Dhawuh Rojo.

"Untuk bisa memahami Sabdo Rojo maupun Dhawuh Rojo maupun Sabdotomo, itu yang dipentingkan bukan pikiran kita tetapi rasa (hati nurani) kita. Orang Jawa itu itu tidak perlu dipikir, mboten …mbok pun penggalih (bukan, tetapi mari dirasakan dengan hati nurani). Kalau hanya dipikir, pikiran itu penuh kepentingan, penuh nafsu, penuh penafsiran sendiri. Berarti menafsirkannya mesti berbeda,” lanjutnya.

Tentang dihilangkannya Khalifatullah atau pemimpin spiritual dari gelar Sultan yang baru, KH Ali Yazir dari MUI Yogyakarta mengatakan, itu tidak mengurangi peran Sultan terkait masalah agama.

“Dengan menghapuskan Khalifatullah itu kan tidak menghapuskan peran keagamaannya. Beliau kan memberi gelar di belakang namanya dengan Langgenging Panotogomo. Justru ada penekanan untuk melanggengkan peran di dalam menata agama di masyarakat itu. Mudah-mudahan saja implementasinya tentu, karena ini kasultanan ya bagaimana sejarah kelahirannya sebagai sebuah kasultanan Islam tidak akan hilang,” jelasnya.

GKR Mangkubumi kepada wartawan mengatakan, ia menerima gelar dari ayahandanya dan ikhlas untuk melaksanakan semua tugas yang diembannya kini.

“Beban di pundak saya tentu akan bertambah. Nama Mangkubumi itu sendiri kan bisa dibilang cukup berat. Tanggung jawab (saya) serta tugas di Kraton tentunya juga akan semakin berat. Saya masih menyesuaikan, organisasi di dalam Kraton tidak akan berubah. Sementara tugas saya di Kraton masih seperti yang sebelumnya; nguri-uri kabudayan (melestarikan kebudayaan), ngurusi petilasan, ngurusi makam, ngurusi tarian Kraton dan sebagainya,” kata GKR Mangkubumi.

Dalam beberapa bulan terakhir ini telah terjadi polemik tentang apakah penerus Sultan seorang laki-laki atau perempuan. Polemik juga terjadi di kalangan anggota DPRD DIY ketika menyusun Peraturan Daerah Istimewa.

Sultan memiliki lima anak yang semuanya perempuan. Dalam tradisi Kraton, jika Sultan tidak memiliki anak laki-laki maka penerusnya adalah adik laki-laki Sultan.

Sultan Yogyakarta memiliki 13 saudara laki-laki dan lima perempuan dari tiga istri mendiang ayahandanya, Sri Sultan Hamengkubuono IX yang wafat di Washington D.C tahun 1988.