Keindahan tari-tarian tradisional Indonesia dan alunan gamelan yang merdu telah menarik hati warga AS, Claire-Marie Hefner, yang akrab disapa Claire untuk mempelajari kesenian Indonesia lebih dalam.
Semua ini berawal ketika Claire ikut dengan orang tuanya tinggal di Yogyakarta pada tahun 1999. Pada waktu itu orang tua Claire yang berprofesi sebagai ahli antropologi tengah melakukan penelitian di Indonesia.
“Satu tahun bersama keluarga sambil belajar di sekolah internasional di Yogyakarta dan mulai belajar tari Bali dengan orang Bali yang mengajar di Yogyakarta,” papar Claire dalam bahasa Indonesia yang fasih kepada VOA baru-baru ini.
Sejak itu Claire jadi sering kembali ke Indonesia untuk mempelajari bahasa Indonesia. Lama-lama ia jadi merasa lebih nyaman jika berbicara dengan penduduk lokal.
“Kalau bisa bahasanya enak sekali kalau bisa ngobrol sama orang Indonesia, karena orang pasti senang dan lebih ramah lagi kalau pakai bahasa Indonesia,” ujar Claire sambil bercanda.
Ketertarikan Claire terhadap kesenian Indonesia berlanjut hingga ke AS. Ia jadi sering ikut pementasan tari Bali dan pernah menari bersama kelompok gamelan Galak Tika di Massachusetts Institute of Technology di Boston, Massachusetts ketika masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Tidak hanya itu, dalam dua tahun terakhir, perempuan penggemar gado-gado dan pecel ini mulai mendalami gamelan Jawa. Ia bahkan ditunjuk sebagai pembimbing kelompok gamelan di Emory University.
Di Emory, terdapat jurusan musik yang memang mengajarkan cara bermain gamelan. Memang sudah tidak mengherankan lagi jika banyak pertunjukan kesenian Indonesia di berbagai negara bagian di AS yang menampilkan warga lokal.
Belum lama ini, Claire ikut bermain gamelan dalam pertunjukan kesenian Indonesia di Emory University yang juga menampilkan wayang dan tari Bali. Ia bekerja sama dengan dalang asal Indonesia, Midiyanto, yang menjadi pengajar di University of California, Berkeley, dan juga I Made Lasmawan, pengajar di beberapa universitas di Colorado, yang menabuh kendang di pertunjukan tersebut.
“Asyik, ada lebih dari 200 orang (yang datang) jadi penuh teaternya dan ada banyak anak-anak kecil. Mereka diundang duduk dekat dalangnya biar mereka bisa menonton wayang kulit itu bergerak dan mereka senang sekali. Kita melihat dari senyumnya,” kata Claire.
Kalau bermain gamelan, biasanya Claire kebagian untuk memainkan instrumen Bonang. Sedangkan kalau menari, Claire mengaku lebih suka menarikan tarian yang gagah seperti Taruna Jaya dan Panji Semirang.
“Tapi pernah juga belajar Oleg dan Legong Keraton jadi macam-macam,” ungkap perempuan yang menyebut Yogyakarta sebagai kota favoritnya di Indonesia
Minat orang tua Claire terhadap bidang antropologi ternyata menurun kepadanya. Claire yang kini tengah menekuni program S3 jurusan Antropologi di Emory University di Atlanta, Georgia, juga memfokuskan penelitiannya kepada Indonesia. Ia belajar mengenai pendidikan islam dan sosialisasi gender di Indonesia, dimana ia pernah melakukan penelitian di dua pesantren di Yogjakarta pada tahun 2011 hingga 2013. Clare pun sempat lama tinggal di pesantren dan Madrasah di Yogyakarta.
“Saya punya pengalaman yang indah dan unik di pesantren dan terasa karena banyak teman disitu. Banyak pengalaman yang indah dan juga menarik,” kenang perempuan yang juga senang mengunjungi kota Malang dan Solo ini.
Pengalamannya berinteraksi dengan para penduduk lokal meninggalkan kesan tersendiri di hati Claire. Menurutnya orang-orang Indonesia sangat ramah.
“Khusus mungkin orang Jawa, karena saya lebih banyak pengalaman sama orang jawa,” ujar Claire. “Mereka sangat mementingkan sopan santun dan karakteristik halus. Saya kira itu indah dan enak kalau bisa ikut dengan gaya budaya seperti itu,” lanjutnya.
Apakah dengan sering berkunjung ke Yogyakarta telah membuat Claire jadi mahir berbahasa Jawa?
“Dereng saget,” jawabnya sambil tertawa.
Rencananya tahun 2015 ini Claire berencana untuk kembali berkunjung ke Indonesia, sekaligus melanjutkan penelitiannya.