Stabilitas Politik, Peran Aktif Politik Luar Negeri Fokus Pidato Kenegaraan Presiden

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta istri masing-masing dan Ketua DPR Ade Komarudin serta para nggota DPR DPD berfoto bersama usai rapat paripurna DPR/DPD di gedung parlemen (16/8). (VOA/Andylala Waluyo)

Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di gedung parlemen menekankan pentingnya demokrasi, stabilitas politik dan keamanan nasional yang menjadi salah satu fokus kerja pemerintah.


Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan di gedung parlemen, Selasa (16/8), menekankan perlunya stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi.

Dalam pidato menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Presiden menjelaskan bahwa demokrasi stabilitas politik dan keamanan menjadi salah satu aspek strategis fokus kerja pemerintah.

Ia menegaskan, Indonesia tidak akan produktif dan tidak akan menjadi bangsa pemenang apabila tidak menghargai hak asasi manusia dan terus didera gonjang-ganjing politik.

"Energi kita sebagai bangsa akan habis untuk meredakan keriuhan politik daripada melakukan lompatan-lompatan kemajuan. Kita bersyukur sekarang ini kerjasama politik sudah kondusif dan konsolidasi politik menjadi semakin matang. Berbagai proses pengambilan keputusan politik dan pengesahan beragam produk hukum terlaksana secara demokratis," ujarnya.

Lebih lanjut, Presiden menekankan, pemerintah mengedepankan pembangunan daerah-daerah yang menjadi beranda Indonesia atau daerah perbatasan.

"Kita kembangkan daerah seperti Entikong, Natuna, dan Atambua agar dunia melihat bahwa Indonesia adalah negara besar dan setiap jengkal tanah airnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh," ujarnya.

Presiden juga menjelaskan politik luar negeri Indonesia yang menjadi bagian dari aspek strategis pemerintah, diiantaranya adalah mendorong penyelesaian konflik internasional secara damai.

"Seperti semangat yang kita bawa saat menyerukan ajakan toleransi dan perdamaian dalam berbagai pertemuan dengan negara-negara Arab dan dengan Amerika Serikat. Baik itu melalui jalur dialog maupun penggunaan media sosial," katanya.

Your browser doesn’t support HTML5

Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo

Indonesia, menurut Presiden, juga terus terlibat aktif dalam mendorong penyelesaian perselisihan di Laut China Selatan melalui negosiasi dan upaya damai paska penetapan Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag.

Indonesia, tambah Presiden, juga mendorong penuntasan perang saudara di Suriah secara damai serta pemenuhan hak-hak kemerdekaan rakyat Palestina.

Presiden menambahkan, perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri juga menjadi fokus Pemerintah.

"Melalui diplomasi menyeluruh dari berbagai jalur, kita berhasil membebaskan 14 WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina Selatan. Melalui diplomasi pula, 2 WNI yang disandera di Papua Nugini berhasil dibebaskan. Hingga akhir Juli 2016, 7.555 kasus WNI di luar negeri berhasil diselesaikan, sebagian besar dari jumlah tersebut adalah TKI. Pada kurun waktu yang sama, tidak kurang dari 23.651 TKI difasilitasi pemulangannya melalui berbagai cara," katanya.

Pemerintah, lanjut Presiden, tengah mempercepat penjajakan berbagai kerjasama pedagangan internasional dan mempertimbangkan partisipasi Indonesia di Trans-Pacific Partnership Agreement (TPPA), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan lain-lain.

Sementara itu, Ketua DPR RI Ade Komarudin menyatakan demokrasi Indonesia semakin kokoh setelah 18 tahun reformasi. Namun demikian Ade menekankan masih ada kelemahan-kelemahan di beberapa bidang. Untuk itu, Ade berpendapat agar semua pihak tidak saling mencari kesalahan.

"Kita jangan membiasakan diri dalam mempromosikan konflik. Kita harus mencari persamaan bukan mempertajam perbedaan yang ada di antara kita," ujarnya.

Hadir dalam pidato kenegaraan ini antara lain ibu negara Iriana Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan jajaran menteri Kabinet Kerja.

Selain itu, hadir pula para presiden dan wakil presiden terdahulu, di antaranya BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno dan Boediono. Namun, pendahulu Presiden Jokowi, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak tampak hadir.