Indonesia berkomitmen beralih ke sumber energi baru terbarukan (EBT). Konsumsi batubara sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), perlahan dikurangi. Co-firing, adalah salah satu strategi dalam transisi itu.
Co-firing adalah pembakaran dua jenis bahan bakar berbeda secara bersamaan. Untuk PLTU yang biasanya sepenuhnya berbahan bakar batubara, cofiring dilakukan dengan menambahkan bahan bakar lain, seperti biomassa yang dibuat dari sampah atau limbah.
Pakar energi, yang juga anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2009-2019, Dr Ir Tumiran M Eng mengapresiasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menerapkan strategi cofiring ini sebagai kombinasi pemanfaatan batubara dan biomassa dengan teknologi yang ada.
“Artinya kan, biomassa itu bagian dari sumber energi baru dan terbarukan,saya kira seharusnya sudah bisa dihitung sebagai substitusi EBT, karena kita mengurangi pemakaian bahan bakar fosil,” ujar Tumiran yang juga dosen di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kepada VOA, Senin (5/12).
Biomassa adalah sumber EBT yang berasal dari organisme yang pernah hidup. Sampah rumah tangga, sisa pengolahan sawit, bubuk hasil penggergajian kayu, sabut kelapa, hingga kotoran ternak adalah sejumlah contoh biomassa.
Untuk dapat dimanfaatkan dalam skema co-firing di PLTU, bahan biomassa seperti sampah harus diolah terlebih dahulu. Saat ini, bentuk akhir biomassa yang siap digunakan adalah serupa pelet ikan. Proses produksi biomassa ini, lanjut Tumiran, justru menjadi nilai lebih kedua cofiring. Dampak ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar PLTU, yang diberi kesempatan memproduksi biomassa.
“Produsen-produsen biomassa itu bisa menjadi generator ekonomi baru, untuk memberi kontribusi di sektor kelistrikan. Artinya, akan ada rente ekonomi baru yang positif, yang tadinya hanya dinikmati oleh produksi batubara yang tersentralistik di Kalimantan atau Sumatera,” ujarnya.
Konsumsi batubara memang berkurang ketika PLTU melakukan co-firing. Sampah perkotaan yang selama ini hanya ditimbun misalnya, dapat diolah menjadi biomassa dan dijual ke PLN. Di satu sisi, langkah itu memecahkan masalah persampahan, dan di sisi lain sekaligus menekan pemakaian batubara.
Untuk mempermudah upaya ini ke depan, langkah edukasi pemilahan sampah di tingkat rumah tangga menjadi penting. Produksi biomassa akan lebih lancar, jika proses tersebut telah dijalankan.
Co-firing dianggap menekan emisi, karena biomassa termasuk netral karbon. Posisi netral itu karena ketika masih “hidup”, bahan baku biomassa telah menyerap karbon. Karena itu, karbon yang keluar ketika biomassa dibakar, dianggap sepadan dengan karbon yang dia serap sebelumnya.
“Tujuannya kan net zero, bukan berarti tidak memproduksi emisi,” papar Tumiran.
Indonesia Produsen Biomassa
Dalam diskusi terkait EBT yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhir pekan lalu, Prof Dr Ir Rizal Alamsyah memastikan Indonesia adalah produsen besar biomassa. Rizal adalah peneliti di Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi, BRIN.
“Sebenarnya produksi biomassa Indonesia cukup besar ya, pertahun diproduksi sekitar 155,4 juta ton biomassa, atau setara dengan 49,8 giga joule per tahun,” ujar Rizal. (Joule adalah unit energi dalam Sistem Satuan Internasional.)
Dari jumlah tersebut, kata Rizal, sebagian belum digunakan, sebagian sudah dimanfaatkan di dalam negeri, dan ada juga yang telah menjadi komoditas ekspor. Salah satu biomassa yang sudah diekspor adalah limbah tanaman sawit.
“Ekspor limbah sawit itu sudah lama sekali. Ini berupa Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), Palm Acid Oil (PAO), Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) dan lain sebagainya. Di ekspor ke Malaysia, China, Jepang dan Korea. Kemudian yang sekarang sudah rutin juga Palm Kernel Expeller, ke Korea Selatan,” papar Rizal.
Ekspor biomassa lain adalah limbah bonggol jagung dari Sulawesi, yang mencapai ratusan ton perbulan, 120 metrik ton ampas tebu ke Jepang setiap tahun, hingga serbuk gergaji, dan serpihan kayu.
“Saya pernah melakukan kerja sama riset dengan lembaga riset di Korea. Di sana sudah ada beberapa pembangkit listrik, walaupun kecil-kecil sekitar dua megawatt, tapi ada sekitar sepuluh sampai dua puluh, yang bahan bakunya itu biomassa dari Indonesia,” tandasnya.
Karena itulah, Rizal mendorong pengolahan lebih besar limbah maupun sampah menjadi pelet, agar dapat dimanfaatkan di sektor energi. Potensi Indonesia yang luar biasa terkait bahan baku biomassa harus dimanfaatkan secara maksimal.
“Sebelum dimanfaatkan di luar negeri, kenapa tidak diberdayakan di dalam negeri,” ujarnya.
Produksi Biomassa Digalakkan
PLN sendiri bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menggenjot produksi biomassa, yang akan dipakai bersama batubara dalam skema co-firing di PLTU mereka. Salah satunya adalah dengan kerja sama subholding PT PLN Indonesia Power dengan Pemerintah Kota Cilegon.
Pada Selasa (29/11) lalu, kedua belah pihak meresmikan pengoperasian pabrik Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) terbesar di Indonesia di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung, Cilegon, Banten.
Dalam pernyataan PLN, pabrik BBJP ini akan mengubah 30 ton sampah segar dari kota Cilegon, menjadi bahan bakar pengganti batu bara di PLTU Suralaya. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo memastikan kolaborasi membantu masyarakat Cilegon mengurangi sampah perkotaan.
“Kami bangga sekali dengan adanya bahan bakar jumputan padat di Cilegon ini. Ini adalah bahan bakar berbasis pada kekuatan rakyat. Disini yang bekerja adalah rakyat sekitar sini dan diberdayakan, jadi ini menciptakan lapangan kerja,” kata Darmawan.
Bagi Cilegon, skema ini mampu menyerap lebih 9.000 ton sampah per tahun. Sementara PLN akan memiliki kepastian pasokan biomassa untuk bahan baku co-firing.
Sebagaimana target pemerintah yang mengemuka sepanjang pertemuan G20 di Bali pertengahan November lalu, PLN Group juga memiliki target net zero emission (NZE) pada 2060. Cofiring adalah salah satu strategi yang diterapkan. PLN serius dengan pencapaian target ini, melalui dua subholdingnya, yaitu PT PLN Indonesia Power (IP) dan PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI).
Dalam Indonesia National Electricity Day 2022 di Jakarta, Rabu (30/11), Direktur Utama PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra, kapasitas pembangkit EBT di PLN IP akan meningkat menjadi 8,1 GW pada 2030.
“Jika di tahun 2024 persentasenya baru 11 persen, di tahun 2030 akan melonjak jadi 30 persen dari keseluruhan pembangkit yang kami kelola,” kata Edwin.
Strategi jangka pendeknya, ujar Edwin, adalah memaksimalkan pemanfaatan co-firing tersebut. Saat ini, ada 13 PLTU yang telah menerapkan co-firing biomassa, dari total 18 PLTU yang diuji coba. Dari co-firing 276 kilo ton biomassa pada 2022 ini, terhitung listrik yang dihasilkan adalah 269GWh.
“PLN berkomitmen untuk mengurangi penggunaan batu bara dengan pemanfaatan biomassa untuk co-firing. Fokus yang saat ini dikejar adalah bagaimana meningkatkan co-firing biomassa untuk PLTU sekaligus menguatkan rantai pasoknya,” tambah Edwin.
PLN telah menjalin kerja sama dengan 12 pemerintah daerah untuk pemanfaatan biomassa sampah. Kolaborasi juga dibangun bersama Perhutani untuk penyediaan biomassa serbuk gergaji. Sedangkan berbagai elemen masyarakat berperan dalam penyediaan biomassa sekam padi, serpihan kayu, hingga cangkang sawit. [ns/lt]