Sebuah studi, Rabu (10/11), mengungkap kondisi bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir satu derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kematian sebanyak delapan persen.
Kantor berita AFP, Kamis (11/11), mengutip laporan yang diterbitkan di Lancet Planetary Health melaporkan studi tersebut memberikan pandangan tidak biasa mengenai bagaimana pemanasan global dan penggundulan hutan dapat memengaruhi orang yang tinggal di kawan tersebut, yang dianggap sebagai salah satu wilayah yang paling rentan di dunia.
Dengan sumber daya yang terkonsentrasi di negara maju, studi tentang pengaruh pemanasan global terhadap kesehatan dan kematian sebagian besar lebih difokuskan pada dunia belahan utara.
"Penelitian dalam melihat dampak perubahan iklim pada mereka yang paling rentan dan tidak berkontribusi besar (pada munculnya perubahan iklim) jarang sekali dilakukan," kata Wolff.
Timnya mengungkapkan bagaimana pembukaan hutan seluas 4.375 kilometer di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, meningkatkan suhu maksimum harian sebesar 0,95 derajat Celcius, di atas suhu global yang sudah lebih hangat, antara 2002 dan 2018.
Berau mengalami deforestasi sebesar 17 persen. Kawasan itu kehilangan pohon pelindung dan meningkatkan suhu panas yang mengakibatkan kondisi bekerja di luar ruangan selama 20 menit dalam sehari menjadi tidak aman. Lebih jauh, kondisi ini menyebabkan sekitar 104 kematian.
Menggunakan pemodelan iklim, studi ini memproyeksikan bahwa di bawah skenario +3 derajat Celcius pemanasan global terhadap tingkat pra-industri, atau +2 derajat Celcius terhadap tingkat 2018, angka kematian dapat meningkat menjadi sekitar 260 per tahun.
Mereka menghitung perubahan berikutnya dalam suhu rata-rata harian dan menemukan telah terjadi kenaikan suhu sebesar hampir satu derajat Celcius di Berau dalam 16 tahun terakhir, sementara suhu secara nasional relatif tetap stabil.
BACA JUGA: Greenpeace: 3,12 Juta Hektare Sawit Berada Dalam Kawasan Hutan"Dunia telah menghangat sekitar satu derajat sejauh ini, dalam 150 tahun terakhir," kata Wolff mengacu pada pemanasan di atas tingkat pra-industri.
Menurut Global Forest Watch, Indonesia pada 2001 memiliki 93,8 juta hektar hutan primer, hutan purba yang sebagian besar tidak terganggu oleh aktivitas manusia, sebuah area seluas Mesir. Namun pada 2020, area tersebut telah berkurang sekitar 10 persen.
Reuters, Kamis (11/11) melaporkan Indonesia, rumah bagi sepertiga hutan hujan dunia, termasuk di antara 137 negara pada KTT iklim COP26 di Inggris yang menandatangani kesepakatan untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.
"Prestasi nyata Indonesia di sektor kehutanan tidak diragukan lagi," katanya.
"Saya menggarisbawahi bahwa Indonesia tidak ingin terjebak dalam retorika. Kami lebih memilih walk the talk (bertindak sesuai komitmen -red)."
Ia menegaskan kasus kebakaran hutan di Tanah Air telah turun sebesar 82 persen pada 2020, sementara emisi pada 2019 turun sebesar 40,9 persen dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya.
Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar, yang menghadiri COP26, memicu kehebohan warganet dengan mengatakan janji yang disepakati Indonesia "jelas tidak pantas dan tidak adil.”
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar kemudian mengatakan bahwa janji tidak berarti deforestasi akan dihentikan sepenuhnya, melainkan merujuk pada "pengelolaan hutan yang berkelanjutan.” [ah/rs]