Studi di Amerika menunjukkan bahwa fenomena cuaca El Nino tampaknya tidak terkait dengan perubahan iklim.
Frekuensi dan volatilitas El Nino, pola cuaca yang menghantam Samudera Pasifik yang tropis setiap sekitar lima tahun, sepertinya tidak terkait dengan perubahan iklim, menurut sebuah riset di Amerika yang hasilnya diumumkan Kamis (3/1)
Studi tersebut melibatkan para ilmuwan yang mengukur pertumbuhan fosil karang purba di dua pulau Pasifik tropis setiap bulan, untuk menentukan apa, jika ada, dampak iklim yang lebih panas pada fenomena cuaca tersebut.
Dengan melakukan rekonstruksi suhu dan curah hujan selama beberapa milenium, para ilmuwan membandingkannya dengan frekuensi dan intensitas El Nino dan menemukan bahwa memang pola tersebut menjadi lebih intens dan kerap pada abad ke-20.
Namun meskipun kenaikannya secara statistik signifikan dan dapat dikaitkan dengan perubahan iklim, catatan sejarah panjang yang diberikan oleh fosil karang tersebut memungkinkan para peneliti menentukan bahwa Osilasi (pola alunan) Selatan El Nino, atau ENSO, juga mengalami variasi alami yang besar dalam beberapa abad terakhir.
Untuk itu, tidak jelas apakah perubahan-perubahan yang terlihat pada dekade-dekade terakhir dapat dikaitkan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan level karbondioksida, ujar para peneliti tersebut.
“Variabilitas level ENSO yang kita lihat di abad 20 tidak ditemukan sebelumnya,” ujar ahli iklim Profesor Kim Cobb dari Fakultas Ilmu Bumi dan Atmosfer di Georgia Institute of Technology.
“Namun memang abad 20 secara statistik tampak menonjol, lebih tinggi dibandingkan dengan gars dasar karang fosil.”
Studi tersebut disponsori oleh National Science Foundation dan diterbitkan oleh jurnal Science. Para peneliti dari Lembaga Oseanografi Scripps dan University of Minnesota juga berkontribusi pada penelitian tersebut.
El Nino terjadi setiap dua sampai tujuh tahun sekali, saat angin yang mendorong sirkulasi air permukaan di Pasifik yang tropis mulai melemah.
Massa air hangat terbentuk di Pasifik barat dan kemudian melaju ke sisi timur samudera, menyebabkan perubahan curah hujan yang besar, mengakibatkan banjir dan tanah longsor di negara-negara di wilayah tersebut yang biasanya tandus.
El Nino kemudian digantikan oleh fase dingin, La Nina, yang biasanya terjadi pada tahun berikutnya. (AFP)
Studi tersebut melibatkan para ilmuwan yang mengukur pertumbuhan fosil karang purba di dua pulau Pasifik tropis setiap bulan, untuk menentukan apa, jika ada, dampak iklim yang lebih panas pada fenomena cuaca tersebut.
Dengan melakukan rekonstruksi suhu dan curah hujan selama beberapa milenium, para ilmuwan membandingkannya dengan frekuensi dan intensitas El Nino dan menemukan bahwa memang pola tersebut menjadi lebih intens dan kerap pada abad ke-20.
Namun meskipun kenaikannya secara statistik signifikan dan dapat dikaitkan dengan perubahan iklim, catatan sejarah panjang yang diberikan oleh fosil karang tersebut memungkinkan para peneliti menentukan bahwa Osilasi (pola alunan) Selatan El Nino, atau ENSO, juga mengalami variasi alami yang besar dalam beberapa abad terakhir.
Untuk itu, tidak jelas apakah perubahan-perubahan yang terlihat pada dekade-dekade terakhir dapat dikaitkan dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan level karbondioksida, ujar para peneliti tersebut.
“Variabilitas level ENSO yang kita lihat di abad 20 tidak ditemukan sebelumnya,” ujar ahli iklim Profesor Kim Cobb dari Fakultas Ilmu Bumi dan Atmosfer di Georgia Institute of Technology.
“Namun memang abad 20 secara statistik tampak menonjol, lebih tinggi dibandingkan dengan gars dasar karang fosil.”
Studi tersebut disponsori oleh National Science Foundation dan diterbitkan oleh jurnal Science. Para peneliti dari Lembaga Oseanografi Scripps dan University of Minnesota juga berkontribusi pada penelitian tersebut.
El Nino terjadi setiap dua sampai tujuh tahun sekali, saat angin yang mendorong sirkulasi air permukaan di Pasifik yang tropis mulai melemah.
Massa air hangat terbentuk di Pasifik barat dan kemudian melaju ke sisi timur samudera, menyebabkan perubahan curah hujan yang besar, mengakibatkan banjir dan tanah longsor di negara-negara di wilayah tersebut yang biasanya tandus.
El Nino kemudian digantikan oleh fase dingin, La Nina, yang biasanya terjadi pada tahun berikutnya. (AFP)