Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Endang Laksminingsih, memperingatkan bahwa stunting berakibat jangka panjang. Jika seorang anak mengalami stunting, akan berdampak pada kecerdasan dan kesehatan orang tersebut ketika dewasa.
"Kita tidak melihat stunting saja, tetapi juga melihat kemampuan kognitif, melihat risiko penyakit tidak menular (PTM). Khusus untuk perempuan, stunting akan menjadi titik atau siklus berulang pada kehamilan berikutnya," terangnya dalam sebuah webinar, Kamis (23/7) sore.
Ahli gizi ibu ini menjelaskan, stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak karena kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Kondisi ini sangat dipengaruhi perkembangan anak pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPH), yakni 9 bulan dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun.
Di dalam kandungan, terjadi perkembangan organ dan sistem di dalam tubuh. Sementara sampai usia dua tahun, anak melanjutkan perkembangan otak, hati, dan imunitas. Endang mengatakan, jika proses ini terganggu, akibatnya dapat permanen.
“Ini yang menyebabkan mengapa proses yang terjadi di dalam kandungan dan 2 tahun pertama kehidupan tetap terjadi. Akibatnya pada saat dewasa berupa penyakit hipertensi, stroke, dan sebagainya,” tandasnya.
Riset Bank Dunia menunjukkan anak yang terlahir dari keluarga miskin dan mengalami stunting, akan punya penghasilan 20 persen lebih kecil daripada anak individu yang tumbuh sehat.
Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019 menunjukkan, angka stunting di Indonesia sebesar 27,67 persen. Angka ini turun 3,1 persen dari prevalensi stunting yang diungkap Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018.
Pemerintah menargetkan angka stunting dapat terus turun 3 persen setiap tahun, sehingga mencapai 19 persen pada 2024.
Belajar dari Peru
Senior Social Development Specialist dari Bank Dunia, Samuel Clark, mengatakan angka tersebut memang membaik tapi belum sesuai harapan. Menurut Samuel, penurunan stunting di Indonesia tidaklah sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di atas 5 persen dan tingkat kemiskinan yang kini di bawah 10 persen.
"Stunting di Indonesia hampir tidak menurun. Riskesdas 2013, 2016, 2018, SSGBI 2019 menunjukkan stunting mulai turun, tapi tingkatnya masih sangat tinggi. 2018 masih di bawah harapan," pungkasnya.
Dia menjelaskan, Indonesia dapat belajar dari Peru, yang dapat menurunkan prevalensi stunting 15 persen setiap tahun selama 8 tahun berturut-turut. Saat ini, prevalensi stunting di Peru sebesar 13 persen.
Ada empat strategi yang dapat ditiru Indonesia, tambah Samuel. Pertama, adalah melakukan penganggaran berbasis bukti. Artinya, hanya program intervensi dan layanan yang berhasil mengurangi stunting yang akan didanai.
"Sistem penganggaran berbasis hasil digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang sempat berhasil menurunkan stunting. Jadi setiap tahun ada penghargaan,” tambahnya.
Selain itu, perlu edukasi publik yang melibatkan banyak pihak supaya meningkatkan kesadaran bersama.
"Termasuk orang tua, tokoh masyarakat, pemda, dan juga koki. Koki (di Peru) juga digerakkan untuk meningkatkan isu stunting di acara memasak," tandasnya.
Di samping itu, tambah Samuel, pemerintah dan kelompok sipil juga perlu mengampanyekan stunting. Terakhir, tidak fokus pada solusi tunggal melainkan lintas-sektor.
Minta Peran Pemda
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Bambang Widianto, mengatakan pemerintah telah menggelontorkan uang yang tidak sedikit.
“Sebetulnya kalau dari sisi anggaran kita nggak kekurangan banget. Kalau cukup, memang tidak cukup. Tapi uang itu ada. Yang kita identifikasi di 18 kementerian/lembaga ini ada sekitar (Rp) 30 triliun,” ungkapnya.
Anggaran ini digunakan Kementerian Kesehatan sebesar Rp 3,6 triliun untuk intervensi gizi spesifik, seperti tambahan gizi bagi anak dan ibu hamil. Sementara mayoritas anggaran dipegang oleh berbagai kementerian, seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Pekerjaan Umum, untuk intervensi gizi sensitif lewat bantuan sosial atau pembangunan fasilitas air bersih.
Namun, kata Bambang, program-program ini sering bertabrakan dengan program milik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kadang-kadang dana desa bikin sanitasi, sementara Kementerian PU bikin juga sanitasi. Kemen PU bikin air minum, pemprov menyediakan juga air minum,” paparnya.
Karena itu, Bambang mendorong pemerintah kabupaten dan kota mencegah program mubazir dengan menyelaraskan program pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai desa.
"Di tingkat kabupaten/kota, agar para bupati dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) itu sadar bahwa banyak sekali aliran dana yang harus dikoordinasikan,” tutupnya. [rt/em]