Setidaknya, fakta itu ditemui oleh Manager Program Pendampingan, Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari. Rifka Annisa adalah lembaga pusat krisis bagi perempuan di Yogyakarta.
Dalam beberapa kasus, Rifka Annisa mendampingi perempuan yang dilaporkan oleh suaminya sendiri ke polisi atas dugaan tindakan kekerasan. Namun, dalam penelusuran lebih jauh, sering ditemukan bukti bahwa istri melakukan kekerasan itu sebagai pembalasan, karena sudah tidak tahan menerima kekerasan dari suaminya.
“Setelah kami telusuri dari konseling, kita assesment, ternyata beberapa klien kami yang terlapor KDRT itu sebenarnya dampak dari peristiwa kekerasan yang dia alami,” kata Andari, dalam diskusi yang diselenggarakan Letss Talk, Minggu (6/11) malam.
“Kemudian pada suatu kesempatan, dia sudah tidak tahan lagi dan membalas, yang kemudian menimbulkan bekas luka atau apa, dan itu dimanfaatkan oleh suami untuk melaporkan istrinya,” imbuhnya.
Kondisi Untungkan Laki-Laki
Dalam situasi semacam ini, laki-laki lebih sering diuntungkan oleh situasi maupun budaya patriarki. Pertama, laki-laki secara umum lebih memahami hukum daripada perempuan, karena faktor kebiasaan gender yang memberi kesempatan lebih kepada mereka dalam melakukan eksplorasi dibandingkan perempuan.
Keuntungan kedua, laki-laki cenderung hanya memikirkan dirinya sendiri sehingga tidak menjadikan anak sebagai faktor pencegah laporan hukum.
“Kalau suaminya yang maju, tidak ada pikiran anak saya bagaimana dan sebagainya. Dia akan cenderung maju terus, pantang mundur,” tambahnya.
BACA JUGA: Dilema Perempuan Korban KDRT: Berpisah Enggan, Bertahan tetapi Penuh SiksaanKeuntungan lain bagi laki-laki, adalah respons pihak kepolisian.
“(Jika yang melapor perempuan -red) itu seperti diberi angin saja oleh aparat kepolisian. Kalau yang melaporkan kasus KDRT adalah pihak suami, maka akan dilanjut,” kata Andari lagi.
Pertama, ketika istri melapor ada kecenderungan dia dilihat sebagai mencari masalah sehingga aparat hukum cenderung menawarkan upaya perdamaian sebelum memproses. Kedua, istri cenderung mempertimbangkan anak-anak dan masa depan mereka. Bahkan ada ketakutan, jika suaminya masuk penjara karena laporan KDRT itu, sehingga kemudian mencabut laporan.
Kecenderungen istri mencabut laporan ini disebut Andari sebagai “siklus KDRT.”
“Ada fase bulan madu, fase konflik, fase kekerasan, fase minta maaf atau pengejaran kembali yang itu membuat korban akan terbangun harapannya untuk memaafkan pelaku, dan kemudian kembali ke fase bulan madu lagi, konflik lagi dan muter-muter seperti itu seterusnya,” ujarnya.
Kecenderungan perempuan mencabut laporan ke polisi menimbulkan persepsi bahwa daripada repot mengurus laporan yang nantinya akan dicabut kembali, lebih baik perempuan menempuh jalan damai. Itulah sebabnya perempuan sedianya didampingi ketika melaporkan kasus KDRT yang dialaminya.
Kekalahan Patriarki?
Aktivis perempuan Myra Diarsi mengatakan ketika laki-laki menjadi korban KDRT, hal itu merupakan dampak situasi di mana dia tidak bisa lagi memegang kendali. Dalam istilah lain, suami mulai menerima “gugatan” atas kekuasaannya dalam keluarga.
“Di situ saya boleh katakan, lelaki pada umumnya menjadi korban dari apa yang diperbuatnya. Konsekuensi logis dari apa yang dibuatnya dalam KDRT, sehingga dia memang kehilangan kendali,” kata Myra.
Secara budaya, di Indonesia patriarki memang masih dominan. Tidak ada celah yang memberi kesempatan kekalahan patriarki di dalamnya. Namun, Myra menilai pada kasus di mana istri berani melawan suami atas kasus KDRT yang dialaminya, yang terjadi sebenarnya bisa disebut sebagai kekalahan patriarki meski banyak pihak meragukan.
Memang, secara umum dalam perbincangan relasi gender, segalanya tidak otomatis atau tidak hitam putih. Tidak selamanya, laki-laki adalah pelaku atau penguasa dan perempuan menjadi korban.
“Di dalam suatu hubungan kuasa gender yang timpang, bisa terjadi kekerasan. Itu saja. Bisa laki, bisa perempuan, jadi tidak dihitamputihkan bahwa yang memegang kuasa adalah laki-laki,” ujarnya.
Hanya saja, sebagaimana banyak data, dalam kasus-kasus dimana suami melapor sebagai korban adalah bentuk revenge atau sebagai balas dendam.
Tidak Netral Gender
Analisa serupa, disampaikan Rachmad Hidayat, dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kampus, Rachmad mengajarkan kuliah feminisme, teori-teori sosial, dan teori post-modernisme.
Rachmad menegaskan, KDRT adalah kekerasan gender, yang tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang netral. Karena dimensi gendernya itu, kata Rachmad, ketika laki-laki menjadi korban, biasanya itu adalah bentuk retalitation atau pembalasan dari perempuan yang tidak bisa lagi menerima kekerasan yang intens. Perempuan atau istri cenderung tidak melaporkan kekerasan yang menimpanya, dengan berbagai pertimbangan, lalu melakukan pembalasan.
BACA JUGA: Komnas Perempuan Masih Temukan Penyiksaan Seksual terhadap Perempuan“Nah, karena laki-laki lebih mudah mengakses layanan, lebih mudah ke polisi, lebih nyaman dengan situasi maskulin di layanan publik, mereka lebih mudah lapor. Sehingga lebih tercatat kasusnya daripada perempuan yang menyerang mereka, yang sebenarnya adalah korban pertama,” ujarnya.
Dari sisi yang berbeda, Rachmad juga mencatat kemauan laki-laki atau suami untuk melakukan konseling terkait KDRT, sangat rendah. Rachmad yang juga pernah aktif di lembaga pendampingan mengaku, kalaupun ada, laki-laki mau menerima pendampingan konseling karena tuntutan hukum.
Your browser doesn’t support HTML5
“Karena sangat tidak tidak maskulin bagi mereka untuk melapor, apalagi sebagai pelaku,” kata dia memberi alasan.
“Kadang-kadang, ada sedikit kasus, di mana konseling itu dilakukan karena pengadilan atau polisi memaksa mereka. Itu menjadi bagian dari proses hukum, dan biasanya laki-laki sekadar menjalankan, ada banyak denial,” lanjutnya. [ns/em]