Pemerintah, DPR dan KPU pertengahan September lalu memutuskan akan tetap melangsungkan pilkada serentak pada 9 Desember nanti, lepas dari begitu banyak masukan dari organisasi massa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menangguhkan pesta rakyat itu mengingat terus meluasnya perebakan pandemi virus corona. Sejumlah tokoh menyikapi hal itu dengan menyatakan akan golput atau menggelar aksi menentang pilkada. Inikah cikal bakal pembangkangan publik?
Komisi II DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu pada 21 September lalu sepakat untuk tetap melangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, ketika membacakan kesimpulan rapat, menegaskan bahwa meskipun tetap dilaksanakan pada tanggal yang sudah disepakati sebelumnya, “disepakati untuk melakukan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan Covid-19.”
BACA JUGA: Pilkada Serentak Diputuskan Tetap Digelar 9 DesemberSeruan Komnas HAM, Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, hingga organisasi massa dan pemerhati pemilu, untuk menangguhkan pilkada di 270 daerah pemilihan tak didengar. DPR, pemerintah dan KPU bergeming, meski jumlah orang yang terinfeksi virus corona terus mendaki. Per Sabtu (10/10), sudah 328.952 orang dinyatakan positif Covid-19, termasuk hampir 12 ribu orang meninggal dunia.
Pakar hukum tata negara di Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, mengatakan tak habis pikir mengapa Pilkada sama sekali tidak bisa ditangguhkan.
“Saya sungguh heran mengapa pemerintah sama sekali tidak mau mendengar semua suara ini. Apa yang disampaikan ini pertanyaan-pertanyaan standar, yang dari perspektif hukum seharusnya dijawab oleh pemerintah. Harus ada dasar pembenaran mengapa pilkada ini harus tetap dilaksanakan," kata Susi Dwi Harijanti.
Menurut Susi, pilkada sebagaimana juga pemilu, mempunyai dua arti penting, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya dan sebagai cara mengisi jabatan. "Tetapi pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aman tidaknya situasi, dalam hal ini situasi perebakan virus corona yang kurvanya terus naik, yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh pemerintah,” lanjutnya.
Politisi Nilai Pilkada Dapat Jadi Cara “Menghukum” Pejabat Publik Tak Becus
Diwawancarai secara terpisah, politisi Partai Golkar, Indra Jaya Piliang, mengatakan selain karena hampir tidak mungkin menunda kekosongan jabatan jika pilkada tak jadi dilaksanakan 9 Desember, pilkada sedianya justru menjadi cara “menghukum” pejabat publik yang selama ini dinilai gagal menerapkan protokol untuk mencegah perebakan.
BACA JUGA: Dari “Blusukan Online” Hingga “Ketuk Pintu”, Kampanye Pilkada di Masa Pandemi“Selain memilih kepala daerah yang kebanyakan akan habis masa jabatannya, pilkada ini sekaligus menjadi alat untuk menghukum kepala daerah atau pejabat yang selama ini gagal menangani Covid-19. Di sinilah saatnya publik bersikap dengan hanya memilih mereka yang selama ini konsisten menunjukkan upaya dan dukungan untuk menurunkan Covid-19 yang dipilih!,” jelas Indra.
LSI: Hanya 16,3% Daerah Zona Merah
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada awal Oktober juga menyampaikan tujuh alasan yang membuat pilkada tidak dapat ditunda lagi, antara lain alasan legitimasi karena bakal ada 209 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada Februari 2021 dan tidak mungkin memilih penjabat pelaksana dengan kewenangan terbatas.
BACA JUGA: Pemilukada Saat Pandemi, Haruskan Mempertaruhkan Nyawa?Selain itu, juga alasan bahwa “hanya” 16,3 persen dari 270 daerah pemilihan yang berada di zona merah. Itu pun, menurut lembaga pimpinan Denny JA, zona merah itu dapat diberi aturan khusus dengan protokol kesehatan yang ketat.
Golput Jadi Pilihan
Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, menilai alasan itu absurd. Saking kecewanya, ia secara terang-terangan menyatakan tidak akan mengikuti pilkada di Tangerang Selatan, di mana ia bermukim.
Diwawancarai VOA sehari setelah keputusan DPR-Pemerintah dan KPU itu ia mengatakan, “Saya sudah memutuskan akan golput. Mengapa? Karena saya ingin berempati dengan warga yang sudah meninggal, atau keluarganya meninggal, karena Covid-19. Di Indonesia sudah lebih dari 10 ribu orang yang tertular. Bagaimana mungkin kita memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar.red), tapi tetap melangsungkan pilkada?," jelasnya.
BACA JUGA: Satgas COVID-19: Gelaran Pilkada Perparah Wabah CoronaMenurut Azra, alasan pilkada harus jalan terus karena akan ada banyak pejabat yang habis masa jabatannya, atau sebagai cara menghukum mereka yang tidak becus mengurus pandemi ini, sama sekali absurd.
"Mengapa tidak mau jujur bahwa pilkada ini harus jalan terus untuk mengamankan posisi mereka menjelang pilpres 2024. Jika ditunda maka banyak calon yang tidak punya cukup waktu untuk tampil pada publik demi 2024. Mengapa tidak mau jujur mengakui hal ini?,” imbuhnya.
BACA JUGA: Putar Otak Penuhi Target Tinggi Partisipasi Pemilih Pilkada di Masa PandemiSusi Harijanti mengatakan bukan tak mungkin akan semakin banyak yang mengikuti langkah Azyumardi Azra untuk golput, yang bahkan mendorong civil disobedience atau pembangkangan publik, atau bahkan civil unrest atau kerusuhan sosial.
“Karena sedang Covid-19, civil disobedience itu tidak dilakukan lewat demonstrasi atau pemogokan, tapi ya itu dengan golput. Itu salah satu cirinya,” jelas Susi.
Mengapa AS, Korea Selatan Bisa Tetap Langsungkan Pilpres dan Pileg?
Kedua cendekiawan juga mengkritisi mereka yang membandingkan pelaksanaan pilkada dengan pemilihan serupa di luar negeri, yang tetap jalan terus meski sedang dilanda pandemi.
BACA JUGA: Tim Kampanye Trump Gunakan Covid-19 sebagai Aset Pilpres“Ya enggak apple to apple. Di negara-negara seperti Korea Selatan atau Amerika yang tetap melangsungkan pemilu, ada sistem jaringan kesehatan yang kuat, ada warga yang jauh lebih disiplin. Di Indonesia hal ini lebih lemah,” komentar Prof.Dr.Azyumardi Azra.
Sementara Prof. Dr. Susi Harijati berpendapat, “Selain soal jaringan layanan kesehatan yang lebih baik, negara-negara di luar Indonesia yang berhasil melangsungkan pilpres itu memiliki cara lain untuk menyampaikan suara. Di Amerika misalnya ada alternatif memberikan suara lewat surat, yang membuat warga tidak perlu datang langsung secara fisik ke TPS. Kita tidak memiliki prosedur itu.”
Pembangkangan Publik Berskala Besar Belum Jadi Budaya di Indonesia
Meskipun demikian cendekiawan Prof. Dr. Azyumardi Azra mengatakan pembangkangan publik, baik dengan tidak mengikuti pemilu/pilkada, atau mengambil sikap lain untuk menentang kebijakan politik belum menjadi budaya di Indonesia. “Di Amerika atau belahan dunia lain mungkin, di Indonesia belum.”
Dalam sejarah Amerika, pembangkangan publik yang dikenal luas umumnya melibatkan pemimpin hak-hak sipil. Misalnya ketika Rosa Parks menentang undang-undang pemisahan tempat duduk di dalam bis berdasarkan warna kulit.
Pada tahun 1955 Rosa Park menolak berdiri untuk menyerahkan kursi yang didudukinya di dalam bis pada seorang laki-laki kulit putih. Ia dengan sopan menolak permintaan itu dan tetap duduk.
Sebagai anggota National Association for the Advancement of Colored People (Asosiasi Nasional Untuk Kemajuan Warga Kulit Berwarna), tindakan Rosa Parks memicu pemboikotan berskala luas selama lebih dari satu tahun dan akhirnya berhasil mengubah undang-undang pemisahan bis berdasarkan warna kulit.
Pada tahun 1963 terjadi pembangkangan publik lain ketika para pemimpin hak-hak sipil, antara lain A. Phillip Randolph, Roy Wilkin, Dr. Martin Luther King Jr melangsungkan pawai politik menuntut dihapuskannya segregasi rasial dan lapangan pekerjaan yang adil. Lebih dari seperempat juta orang mengikuti pawai itu.
Di luar Amerika, ada “Singing Revolution” yang disebut-sebut ikut membantu Estonia, Latvia dan Lithuania meraih kemerdekaan dari Uni Soviet. “Singing Revolution” berawal pada tahun 1986 ketika sekelompok besar warga berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu tradisional tentang warisan budaya mereka. Ketika itu mengibarkan bendera-bendera yang melukiskan warisan budaya atau menunjukkan rasa patriotisme pada warisan nenek moyang mereka dilarang. Secara perlahan-lahan gerakan masyarakat madani ini berhasil mendorong perubahan dan menyingkirkan pendudukan.
“Civil disobedience” terkenal lainnya adalah “Salt March” yang digagas Mahatma Gandhi di India pada bulan Maret hingga April 1930 di India. Ketika itu Gandhi memprotes kebijakan produksi dan penjualan garam, yang hanya menguntungkan Inggris karena melarang warga India menjualnya secara mandiri, bahkan mengenakan harga mahal bagi warga India.
Gandhi memang bukan tokoh pertama yang memprotes pajak garam, tetapi ia mengilhami banyak tokoh politik lain ketika pada Maret 1930 bersama pengikutnya, Gandhi berpawai sejauh 240 mil guna menyampaikan protes dan pandangan tentang ketidakadilan pajak garam ini. Pawai yang dikenal sebagai “satyagraha” ini berlangsung berbulan-bulan dan membuat lebih dari 60.000 orang dipenjara, termasuk Mahatma Gandhi. Namun pada awal tahun 1931, ia mencapai gencatan senjata, dan pada tahun 1947 India meraih kemerdekaan dari Inggris. [em/ab/es]