“Halo Radio Braille Surabaya, suara inklusivitas. Balik lagi bersama aku Hanan. Di sini aku bakal nemenin kalian untuk ngobrol-ngobrol bareng soal Hari Disabilitas Internasional, yang tepatnya pada tanggal tiga Desember.” Itu lah sepenggal suara penyiar yang bernama Hanan Abdullah saat menyapa para pendengar melalui pelantang Radio Braille Surabaya.
Radio tunanetra pertama di Kota Pahlawan tersebut lahir tepat pada peringatan Hari Disabilitas Internasional, Sabtu, 3 Desember 2022. Kehadiran media ini berangkat dari keresahan sejumlah pendidik di sekolah luar biasa di bawah Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB) mengenai kurangnya porsi pemberitaan para penyandang disabilitas di media massa arus utama. Lahirnya radio tersebut diharapkan dapat menjadi corong dan sarana advokasi bagi para difabel.
Pemimpin Redaksi Radio Braille Surabaya, Tutus Setiawan, bermimpi kemunculan media tersebut juga dapat berperan dalam menyuarakan kepentingan para penyandang disabilitas yang selama ini belum sepenuhnya diberikan.
“Media ini adalah sebuah corong, sebuah pena bagi kami untuk menyampaikan suara kami ke masyarakat, ke publik, ke pemerintah. Sedangkan untuk media yang ada itu tidak bisa memberikan keleluasaan bagi kami untuk menyuarakan hak-hak kami, karena media punya program sendiri,” ujar Tutus.
Tutus sendiri merupakan salah satu inisiator yang membidani kelahiran radio tersebut. Ia bersama tiga rekan penyandang disabilitas netra lainnya, yaitu Atung Yunarto, Hanan Abdullah, dan Sugihermanto memilih bentuk radio karena menganggap platform tersebut masih menjadi sumber informasi utama bagi para tunanetra.
Saat ini, konten siaran Radio Braille Surabaya dapat diakses di kanal Youtube Radio Braille Surabaya, dan akan segera dapat dilakses melalui platform radio on demand.
Dalam menjalankan misinya, Radio Braille Subaya akan mengudarakan sejumlah program-program menarik, di antaranya edukasi, reportase, dan ekspresi.
“Jadi kita akan memberikan edukasi, yang pertama kepada masyarakat, publik, maupun mungkin pemerintah tentang keberadaan, kebutuhan, karakteristik yang terkait dengan teman-teman disabilitas,” kata Atung Yunarto.
Yang kedua, lanjut dia, mereka akan menukik pada isu-isu yang popular dengan menggunakan perspektif atau interseksi dengan para penyandang disabilitas. Dan yang ketiga, kata Atung, adalah ekspresi yang dapat dimunculkan melalui berita seputar prestasi-prestasi, atau inovasi-inovasi yang dilakukan oleh para penyandang disabilitas.
BACA JUGA: Tegar, Film Inklusi Pertama Ajak Masyarakat Menghargai Kesetaraan Hak DisabilitasHanan Abdullah, selaku Koordinator Distribusi Radio Braille Surabaya, merasa tertantang terjun di dunia media yang selama ini ia impikan. Selama lebih dari dua bulan, Hanan bersama tiga rekannya yang lain selalu aktif belajar dan berlatih tentang jurnalistik dan media radio, dari para jurnalis di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya. Hanan ingin, pemahaman masyarakat mengenai disabilitas menjadi lebih terbuka melalui media radio ini
“Aku ingin yang selama ini tidak tahu isu-isu disabilitas, menjadi tahu. Sekarang saja teman baruku saja masih banyak yang bilang, bagaimana ya caranya bicara dengan disabilitas itu, takutnya tersinggung. Bagaimana caranya ngomong duluan, kalau sama tunanetra harus sabar ya ngomongnya, seperti itu sangat banyak, bahkan di kota besar seperti Surabaya atau Jakarta. Nah, aku ingin menjangkau orang-orang itu yang memang tidak tahu sama sekali,” paparnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Pentingnya Siaran Ramah Disabilitas
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer, mengatakan lahirnya Radio Braille Surabaya merupakan inisiatif para penyandang tunanetra harus diapresiasi. Ia mengakui media massa di Tanah Air saat ini kurang menyuarakan kepentingan kelompok disabilitas.
“Harapannya ini akan menjadi semakin terdengar suara mereka. Tidak hanya dari komunitas pers, tapi juga dari kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya juga. Saya pikir banyak sekali yang mau mendukung mereka,” katanya.
Senada dengan Eben, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Imanuel Yosua, juga mendukung lahirnya media radio oleh para penyandang disabilitas tersebut. Ia berpendapat pilihan menggunakan nama radio dirasa tepat untuk menggambarkan pentingnya peran audio sebagai pengganti visual. Gerakan ini, kata Yosua, menjadi penyadaran bersama mengenai pentingnya penyiaran yang ramah terhadap disabilitas, khususnya tunanetra.
“Pilihan mereka menggunakan nama radio bagi komunitas ini saya kira cukup tepat, karena untuk mendorong bagaimana audio ini menggantikan kekurangan yang ada di visual, dan ini sebuah langkah yang bagus. Ini merupakan salah satu gerakan untuk memberikan kesadaran terkait siaran ramah disabilitas. Karena memang kawan-kawan disabilitas ini adalah salah satu bagian dari bangsa ini, mereka warga negara yang berhak mendapatkan haknya di bidang siaran,” paparnya. [pr/ah]