Pemecatan Akol Koor Kuc, yang mengepalai biro keamanan internal Badan Keamanan Nasional (NSS) yang kontroversial sejak negara itu merdeka dari Sudan pada tahun 2011, terjadi beberapa minggu setelah pemerintah transisi mengumumkan penundaan pemilu lagi.
Bulan lalu kantor Kiir mengumumkan perpanjangan masa transisi selama dua tahun dan menunda pemilu untuk kedua kalinya – setelah penundaan pada tahun 2022 – sehingga menuai kritik dari Amerika dan penjamin internasional lainnya terhadap proses perdamaian negara tersebut.
Permohonan tanggapan yang disampaikan Reuters kepada juru bicara pemerintah dan kantor presiden tidak dijawab.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch telah sejak lama memperingatkan bahwa NSS yang penuh rahasia mempunyai kekuasaan yang berlebihan di negara tersebut, dan beroperasi dengan impunitas terhadap masyarakat sipil dan aktivis yang menentang pemerintah.
Para analis mengatakan keputusan untuk memecat kepala intelijen, yang diumumkan pada Rabu malam (2/10), mencerminkan perebutan kekuasaan di tingkat tertinggi pemerintahan.
"Ada banyak perhitungan mengenai apa yang harus dilakukan terhadap Akol Koor. Presiden tidak ingin keputusan yang terlalu cepat menimbulkan masalah pada keamanan nasional," kata analis kebijakan dan keamanan Boboya James kepada Reuters.
“Dengan perpanjangan perjanjian perdamaian itu, saat ini dia ingin mengkonsolidasikan kekuasaan dengan mulai memasukkan loyalis” ke dalam pemerintahan, tambah James.
Kepala intelijen baru, Akec Tong Aleu, adalah sekutu dekat Kiir.
Sudan Selatan mengakhiri perang saudara selama lima tahun pada tahun 2018, namun perselisihan antara Kiir dan wakilnya Riek Machar – yang memimpin pihak-pihak yang berseberangan dalam konflik tersebut – telah menjadi hambatan besar dalam mencapai perdamaian. [em/ab]