Pihak berwenang Sudan yang menawarkan amnesti kepada para pemimpin kelompok pemberontak bersenjata, minggu lalu mengadakan upacara perdamaian untuk menyambut mereka kembali ke Khartoum.
Amnesti itu, yang mulai berlaku segera setelah diumumkan Kamis, berlaku untuk semua anggota kelompok oposisi Sudan, kecuali mereka yang menghadapi tuduhan kejahatan perang di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC).
Ribuan warga Sudan meneriakkan, "Selamat datang pada perdamaian" ketika mereka menabuh genderang dan menari di Taman Kebebasan Khartoum pada hari Minggu untuk menyambut kembali sekitar selusin pemimpin oposisi, pengawal mereka dan hampir 100 anggota kelompok pemberontak lainnya.
BACA JUGA: UNHCR: Lebih dari 25.000 Orang Ethiopia Mengungsi ke SudanPara pemimpin pemberontak termasuk Al Hadi Idris, ketua Front Revolusi Sudan, induk organisasi kelompok pemberontak yang menandatangani perjanjian damai dengan pemerintah transisi Sudan di Juba, Sudan Selatan.
Malik Aggar dan Yassir Arman dari SPLM-Fraksi Aggar Utara juga menghadiri acara tersebut, begitu pula Kepala Tentara Pembebasan Sudan Minni Arco Minawi, Jibril Ibrahim dari Gerakan Keadilan dan Persamaan, dan Al Amin Dawood dari komunitas Beja.
Minawi mengatakan ia datang ke Khartoum untuk bekerja sama dengan pemerintah transisi guna membantu melaksanakan kesepakatan damai. "Kita harus bekerja sama memikul tanggung jawab dan mengesampingkan perbedaan politik kita untuk mencapai demokrasi di negara kita," kata Minawi.
Ia mengatakan kehadiran pemimpin oposisi bersenjata di Khartoum menandai berakhirnya perang di Sudan dan awal perdamaian yang mengalihkan fokus negara menuju pembangunan.
Berbicara di acara yang sama, Mohammed Hamdan Dagalo, wakil kepala badan penguasa Sudan, Dewan Kedaulatan, menyambut para pemimpin oposisi di ibu kota Sudan itu, dan menyebut mereka saudara dalam damai.
“Saat kita memulai era baru di negara kita tercinta ini, kita perlu menyatukan upaya untuk membangunnya lebih baik dari sebelumnya. Mari berkumpul dan berbicara dalam satu bahasa dan mulai membangun kembali keamanan dan stabilitas negara yang indah ini,” kata Dagalo.
Zahara Adam yang berusia empat puluh tiga tahun menyanyikan lagu perdamaian pada perayaan tersebut dengan berlinang air mata. Adam, yang berasal dari Kordofan Selatan, salah satu zona konflik lama di Sudan, mendesak pemerintah untuk merangkul pemimpin pemberontak Abdulazeez Al Hilu dan mereka yang berada di kelompok yang masih bertahan.
“Saat saya berbicara, konflik antar suku masih terjadi di daerah saya dan saya sangat prihatin tentang hal ini. Saya ingin pemerintah kita menjangkau dan menyelamatkan kaum muda kita di Kordofan Selatan dan di wilayah Abu Korshola. Kita tidak bisa terus saling membalas dendam. Setiap hari orang-orang dibunuh, "kata Adam kepada VOA. [my/lt]