Kementerian luar negeri Sudan menyatakan 15 diplomat UEA sebagai persona non grata pada Minggu (10/12), menuntut mereka meninggalkan Sudan “dalam waktu 48 jam,” menurut kantor berita resmi SUNA.
Dalam beberapa pekan terakhir, demonstran pro-tentara dan para pejabat tinggi yang setia kepada panglima militer Abdel Fattah al-Burhan, menuduh Uni Emirat Arab mendukung paramilite Rapid Support Forces, yang dipimpin oleh mantan wakil Burhan sendiri, Mohamed Hamdan Daglo.
Kedua kekuatan tersebut telah berperang sejak 15 April, menewaskan 12 ribu orang dan membuat tujuh juta orang mengungsi, menurut PBB.
Perundingan gencatan senjata antara kedua kekuatan selalu gagal, dan tidak ada yang berhasil meraih kemenangan di medan perang.
BACA JUGA: Asisten Sekjen PBB untuk Afrika: Permusuhan di Sudan Semakin MeningkatPara ahli dan pemimpin dunia, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan aktor-aktor yang tidak disebutkan namanya, yang memberikan dukungan “finansial dan senjata” kepada kedua pihak yang bertikai telah berkontribusi terhadap pembantaian yang sedang berlangsung.
Sementara Mesir dan Turki mendukung kuat kelompok militer, menurut para ahli, UEA dituduh menyalurkan senjata dan dukungan kepada paramiliter RSF, yang mengendalikan sebagian besar sektor pertambangan emas yang menguntungkan di negara tersebut.
UEA pada Agustus membantah laporan Wall Street Journal yang mengklaim adanya senjata ditemukan dalam kiriman bantuan ke Sudan, dan mengatakan Abu Dhabi “tidak memihak dalam konflik saat ini”.
Pada akhir November, Jenderal Yasser al-Atta, orang kedua setelah panglima militer Burhan, menuduh UEA “mendukung RSF dalam perangnya melawan tentara,” melalui bandara di Uganda, Chad, dan Republik Afrika Tengah. [ns/lt]