Suku Tengger Lestarikan Alam dan Budaya Lewat Kenduri dan Kirab

  • Petrus Riski

Kenduri Alas dengan menghadirkan Tumpeng dan makanan berupa umbi-umbian, yang dimakan bersama warga Tengger yang hadir (Foto: VOA/Petrus).

Dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia, Yayasan Arek Lintang (ALIT) bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mugo Joyo, Desa Andonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, menggelar Kenduri Alas serta Kirab Budaya Anak-anak Suku Tengger.

Kegiatan ini sebagai wujud rasa syukur atas alam khususnya hutan yang menjadi tempat manusia menggantungkan hidupnya, dan sarana untuk mengajak anak-anak dan seluruh lapisan masyarakat melestarikan alam melalui budaya.

Barisan anak-anak berpakaian adat mengawali Kirab Budaya Anak-anak Suku Tengger, menuju lokasi Pusat Pendidikan Konservasi dan Budaya Lereng Bromo, yang hari itu juga akan diresmikan.

Perarakan anak-anak suku Tengger menuju hutan di Desa Andonosari, Kecamatan Tutur, untuk mengikuti Kirab Budaya dan Kenduri Alas (Foto: VOA/Petrus).

Di tengah hutan di Desa Andonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, masyarakat menggelar Kenduri Alas, yang merupakan salah satu tradisi dan budaya masyarakat Tengger, sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas hutan yang menjadi tempat mencari nafkah dan menggantungkan seluruh hidupnya. Diiringi gamelan slompretan khas Tengger, serta drum band dari anak-anak Sekolah Dasar di Desa Andonosari, peserta kirab berjalan sejauh sekitar 3 kilo meter ke dalam hutan.

Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT) Yuliati Umrah mengungkapkan, Pusat Pendidikan Konservasi dan Budaya Lereng Bromo didirikan untuk menyelamatkan lingkungan di lereng Gunung Bromo, akibat semakin banyaknya penebangan pohon untuk pertanian dan permukiman. Di tempat ini, anak-anak diajari untuk menjadi pelopor pelestarian lingkungan, melalui pendidikan konservasi dan kegiatan budaya. Yuliati mengatakan, selain berlatih kesenian tradisional, anak-anak sudah mulai belajar melakukan pembibitan tanaman untuk penghijauan hutan yang gundul.

Direktur Eksekutif Yayasan ALIT, Yuliati Umrah (kiri depan) menandatangani penyerahan Pusat Pendidikan Konservasi dan Budaya Lereng Bromi, kepada Ketua LMDH Andonosari (Foto: VOA/Petrus).

“Seminggu dua kali anak-anak berkumpul untuk mengecek bank bibit, kalau tiga bulan sekali mereka menyebar itu ke gunung-gunung. Mencari (bibitnya), kadang makanan dari buah-buahan yang langka dari tempat lain itu ini, oh ini masuk desa kita dulu, itu dikumpulin di sini, ditanam di sini sebagai bank, nanti kalau sudah tumbuh baru dipindah. (Tananam) Kemundung, kecacil, itu dulu tidak ada, sekarang kemundung, kecacil mulai diperbanyak, karena itu makanan monyet, supaya monyet-monyet tidak usah turun ke bawah,” ujar Yuliati.

BACA JUGA: Menghadirkan Senyum Anak Suku Tengger Melalui Sekolah Baru

Kerusakan lingkungan yang disebabkan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan n permukiman, menurut Yuliati harus segera dicegah dan ditangani. Ancaman kerusakan lingkungan dan ekologi sudah dapat dilihat dari berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor, maupun kekeringan akibat berkurangnya sumber mata air. Sampai saat ini, sumber mata air di lereng Gunung Bromo sudah sangat kritis, karena hanya menyisakan 26 titik mata air.

“Kejadian longsor dan banjir di beberapa tempat di musim hujan sudah terlalu sering terjadi, di sisi lain ketika kemarau, kering. Mata air itu sudah ada 52 titik di lereng Bromo itu hilang, ini resiko sekali. Dan di sisi lain pada masa menjelang musim panen buah-buahan, monyet-monyet dari atas itu turun untuk menyerang. Nah, ini kan sudah gejala alam yang harus mulai dicegah. Nah, kita menggunakan strategi dengan anak-anak karena pola itu sulit sekali kalau langsung dengan orang dewasa,” tambah Yuliati.

Sejumlah bibit tanaman yang akan disebar di lokasi hutan yang gundul di lereng Bromo (Foto: VOA/Petrus).

Pendiri dan Ketua Yayasan Sanggar Indonesia Hijau (SI Hijau), Sugiarto mengatakan, kerusakan lingkungan diakibatkan adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia. Upaya penanaman kembali hutan yang gundul harus terus dilakukan, agar mata air dapat diselamatkan dan bencana alam dapat dicegah. Sebagai kelompok yang aktif melakukan pembibitan tanaman, Sugiarto turut menyumbangkan bibit tanaman buah untuk membantu program konservasi yang dilakukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mugo Joyo, Desa Andonosari.

“Jenis yang kita berikan, itu rata-rata tanaman yang berbuah, akan tetapi tanaman ini yang banyak bisa menyimpan dan menyerap air, contohnya sukun, nangka, dan banyak lainnya yang bernilai ekonomi. Sehingga target kita ada ekologi, ada ekonomi, ada sosial,” ungkap Sugiarto.

Kenduri Alas serta Kirab Budaya Anak-anak Suku Tengger, yang dirangkai dengan peresmian Pusat Pendidikan Konservasi dan Budaya Lereng Bromo, diapresiasi oleh Suhartono selaku Pemangku Adat Tengger, Dusun Ketuwon. Pada kesempatan ini, anak-anak menampilkan berbagai jenis kesenian, mulai dari tari-tarian, musik tradisional, serta musik dan lagu masa kini. Suhartono berharap, kegiatan pelestarian lingkungan dan budaya ini dapat terus dilakukan oleh anak-anak maupun seluruh masyarakat, yang ada di lereng pegunungan Tengger.

Penampilan tarian khas Tengger, dalam rangka melestarikan budaya dan mengajak masyarakat mencintai lingkungannya (Foto: VOA/Petrus).

Niki lek kangge kula remen, setuju niki ngoten niki kula, kedepannya ngoten niki kersane mboten ternganggu ngoten, ngih tetep lestari,” tukas Suhartono. (Artinya: Ini kalau buat saya sangat senang, saya setuju dengan kegiatan ini, agar di masa mendatang tidak ada gangguan, bencana, tetap lestari alamnya).

Pelestarian alam melalui gerakan konservasi hutan dan mata air, diharapkan oleh Yuliati Umrah, dapat menghadirkan kehidupan masyarakat yang harmonis dan jauh dari ancaman bencana. Selain itu, pelestarian dan pemasyarakatan kembali budaya serta adat istiadat masyarakat Tengger, diyakini akan mampu menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang disebabkan oleh keserakahan manusia.

“Budaya Tengger itu sangat mencintai alam, itu titik utamanya, orang-orang Tengger itu tidak bisa jauh dari alamnya. Nah, ketika dihidupkan kembali tradisinya, secara otomatis dia tidak akan mau melepas lingkungannya menjadi rusak, dan itu di anak-anak mulai melihat, misalnya pohon buat apa ditebang, buat nanam sayur, kenapa di situ, kenapa tidak dipindah ke tempat lain. Kalau ternyata permintaan dari luar Bromo untuk sayur semakin meningkat, ini meningkat juga penggundulannya. Termasuk pendirian resor-resor juga semakin meningkat, meningkat pula penggundulannya, ini kan jadi masalah," demikian pungkas Yuliati. [pr/ab]