Warga Desa Alas Bulu, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi diresahkan oleh aktivitas pertambangan pasir dan batu atau galian C di dekat desa mereka. Aktivitas penambangan pasir yang awalnya diduga tidak berizin itu, telah menimbulkan gangguan berupa polusi hingga banjir saat hujan turun.
Menurut Abdullah, salah satu warga Wongsorejo, Banyuwangi, perbedaan dukungan antara warga yang menolak dan mendukung keberadaan tambang telah menimbulkan konflik dan perselisihan antar warga.
“Dampak yang saya rasakan itu gak aktif kan, kadang kerja kadang enggak. Ya lalu lalangnya truk dam itu, polusinya debu, terus asapnya itu, bising. Banjir itu ada 2 tahun ya, yang merasakan dampaknya di daerah timur, di kawasan timur. Yang paling saya tidak kuat ya, konflik sosialnya itu, pokoknya hampir tiap hari bentrok (konflik) sudah warga. Saya tahun 2000 sudah di Sidomulyo, sebelum ada tambang kami hidup rukun, damai, sejak ada tambang pas sosialisasi itu sudah bentrok (berbeda sikap),” tutur Abdullah.
Sikap penolakan warga terhadap pertambangan di Wongsorejo, Banyuwangi, didasarkan atas tidak adanya pembicaraan dan pelibatan warga terkait izin pertambangan, serta penolakan dipakainya jalan desa untuk akses truk pengangkut hasil tambang. Dari penolakan itu, sejumlah warga termasuk Abdullah dilaporkan ke polisi, karena dianggap menghalang-halangi aktivitas pertambangan.
“Yang diangkat itu yang kami tahu, pasirnya juga diangkat, bahkan tanah urugnya juga diangkat, padahal waktu sosialisasi itu katanya, tanah itu tidak diambil, mau ditutup lagi. Ternyata tanah urugnya juga diambil, makanya kami cegat. Cuma kami tidak bermaksud mencegat karena mengambil batu atau pasirnya, tidak, karena akses jalannya itu (jalan desa). Kedua, terkait izin, yang katanya ada izin, ada izin, ada izin, padahal kami tidak pernah dilibatkan terkait perizinan itu, yang seharusnya katanya harus persetujuan warga, dan kami dari awal itu memang tidak pernah setuju dengan tambang itu, lho kok ini sekarang tiba-tiba ada izin,” tambah Abdullah.
Peneliti dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya (Ubaya), Dian Noeswantari mengatakan, izin melakukan kegiatan pertambangan yang diklaim telah mendapat persetujuan dari warga itu, diperoleh dari manipulasi tanda tangan warga yang diundang ketika berlangsung sosialisasi oleh perusahaan tambang. Dian melihat ada upaya menyingkirkan warga yang dianggap sebagai halangan, melalui kriminalisasi warga yang menolak aktivitas tambang di sekitar desa mereka.
“Manipulasi bermain di sana, seperti tadi pak petani itu tanda tangan daftar hadir, nah itu harus hati-hati karena kadang-kadang daftar hadir itu digunakan sebagai bentuk persetujuan. Kalau menurutku bukan untuk menggoalkan suatu izin, tapi lebih untuk menyingkirkan halangan. Karena kalau warga banyak protes kan gak jalan-jalan (proyeknya),” ulas Dian.
Kuasa hukum warga Alas Bulu, Wongsorejo, dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi, Ahmad Rifai mengatakan, pemidanaan terhadap warga yang menolak aktivitas tambang telah menjadi cara untuk memuluskan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Di Banyuwangi, upaya kriminalisasi terjadi terhadap warga penolak tambang emas di Tumpang Pitu, serta warga penolak tambang pasir dan batu di Wongsorejo.
“Mereka menggunakan cara-cara menjerat dengan pidana. Nah dua kasus di Banyuwangi, yang pertama kasus di Tumpang Pitu itu, mas Budi Pego dan kawan-kawan, kemudian kasusnya warga Alas Bulu, Wongsorejo, itu semakin meyakinkan kami bahwa mereka mem-pressure warga itu dengan cara melakukan laporan delik pidana, yang meskipun menurut kami itu unsurnya sangat tipis, misalnya laporan dianggap menghalang-halangi tambang,” ujar Ahmad.
Ahmad Rifai mendesak pemerintah sebagai institusi yang mengeluarkan izin usaha pertambangan, untuk memperhatikan kepentingan warga yang tinggal di sekitar area tambang. Pertimbangan pemberian izin harus memperhatikan faktor sosial, budaya, dan ekonomi warga di sekitar area tambang, tidak hanya semata untuk memenuhi target investasi atau ekonomi daerah.
“Mestinya proses perizinan, negara itu kan kewenangannya memberikan izin, itu mestinya harus benar-benar mempertimbangkan faktor sosial, kebudayaan, ekonomi warga sekitar. Nah ini kan bagi saya juga perspektif HAM. Persoalannya, hampir seluruh proses perizinan pertambangan, saya tidak menemukan itu. Contoh saja di warga Alas Bulu ini yang mereka menceritakan dengan jelas bahwa, mereka seperti diakali katanya,” demikian pungkas Ahmad. [pr/lt]