Sunat Perempuan: Praktik Purba yang Dilestarikan Tanpa Alasan

  • Nurhadi Sucahyo

Kampanye "Hentikan FGM" (sunat perempuan) di SMA Imbirikani, Kenya, 21 April 2016. (Foto: dok).

Tanggal 6 Februari dikenal sebagai Hari Internasional Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation). Indonesia ternyata masuk tiga besar negara di dunia yang mempraktikkannya.

Sunat atau khitan adalah aktivitas wajar dalam masyarakat Indonesia. Sejak lama, juru sunat secara merata berpraktik di tanah air, meski kini peran mereka banyak digantikan oleh dokter. Namun, yang terbayang setiap melihat papan nama juru sunat, tentu adalah anak kecil, laki-laki, dan memakai sarung yang berjalan tertatih. Kadang, sunat bahkan dirayakan dengan acara kesenian atau pertunjukan musik.

Padahal, sebagian anak perempuan Indonesia juga menjalani praktik sunat. Aktivitas ini tertutup dan tidak dirayakan, sebagaimana sunat anak laki-laki.

Menurut peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Sri Purwantiningsih, praktik ini terus terjadi.

“Terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga. Nenek yang disunat cenderung menyunat anaknya (Ibu) dan Ibu yang disunat oleh neneknya juga cenderung menyunat anaknya,” kata Sri Purwantiningsih.

Purwantiningsih menyampaikan itu ketika berbicara dalam diskusi "Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan" di PSKK UGM, Kamis (6/2). Diskusi ini diselenggarakan untuk memperingati 6 Februari, sebagai Hari Internasional Tidak Ada Toleransi bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan. PSKK UGM menyebut sunat perempuan sebagai Pemotongan atau Perlukaan Genital Perempuan (P2GP).

Diskusi Membedah Mitos dan Fakta Tentang Sunat Perempuan di PSKK UGM, Kamis, 6 Februari 2020. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Lembaga ini pernah melakukan penelitian pada 2017, dengan responden 4.250 rumah tangga di 10 provinsi di Indonesia. Terkuak bahwa 87,3 persen responden mendapatkan informasi sunat perempuan dari orang tua. Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama sebagai alasan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi. Purwantiningsih juga menyebut, 97,8 persen responden mengatakan bahwa sunat perempuan perlu dilakukan.

Penelitian ini juga mengungkapkan, 45 persen tindakan sunat perempuan dilakukan dukun bayi, 38 persen oleh bidan, perawat atau mantri, 10 persen oleh dukun sunat perempuan, dan hanya 1 persen oleh dokter. Dari sisi alat, 84,6 persen dukun bayi melakukan sunat perempuan menggunakan pisau, cutter, atau silet. Sedangkan 3,9 persen menggunakan gunting dan 7,7 persen menggunakan jarum.

Your browser doesn’t support HTML5

Sunat Perempuan: Praktik Purba yang Dilestarikan Tanpa Alasan

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, tercatat 51 persen perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia pernah disunat. Dari jumlah itu, 72,4 persen diantaranya disunat pada usia 1-5 bulan. Kemudian 13,9 persen disunat usia 1-5 bulan, 13,9 persen pada usia 1-4 tahun, dan 3,3 persen pada usia 5-11 tahun.

Agama Menjadi Alasan

Masyarakat menjadikan agama sebagai dasar melakukan sunat perempuan. Padahal menurut dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Hamim Ilyas, perintah langsungnya tidak ada. Ada beberapa kisah seputar sunat perempuan tetapi ulama sepakat mengelompokkannya sebagai sabda nabi yang lemah.

Dalam ajaran agama, sunat mulai dikenal pada masa Ibrahim. Dia adalah nabi yang dikenal tidak hanya dalam Islam, tetapi juga dalam agama-agama lain. Pada masa ini, sunat juga hanya dilakukan pada laki-laki. Hamim menyebut, mereka yang bersikeras melakukan sunat perempuan, adalah kelompok agama yang menafsirkan ajaran secara literal.

“Ini pasti kelompok keagamaan yang kembali pada ajaran agama secara literal, tidak menerima tafsir yang tidak literal. Saya yakin, tidak babalan ada NU dan Muhammadiyah menyelenggarakan khitanan massal perempuan, karena NU dan Muhammadiyah menerima tafsir yang kontekstual,” ujar Hamim.

Dalam ajaran Islam, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad pernah menyinggung masalah ini. Sunat perempuan ketika itu sudah menjadi tradisi sebagai agama datang. Karena itu, Muhammad meminta kepada dukun sunat perempuan agar tidak melakukan pemotongan secara berlebihan. Dalam konteks saat ini, kata Hamim, di mana masyarakat sudah mampu berpikir obytektif, harus dilihat bahwa tidak ada alasan kemuliaan beragama bagi sunat perempuan.

Agama dijadikan dasar sunat perempuan, namun sebagian meyakini pemahaman itu keliru. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Hamim juga menandaskan, ada perbedaan jelas dalam mazhab yang berkembang dalam Islam. Di dunia modern, semestinya persoalan ini didekati dengan “mazhab kenegaraan” di mana yang harus ditaati adalah keputusan pemerintah. Hamim mengibaratkan ini seperti lampu lalu lintas, di mana agama tidak mengajarkan orang berhenti ketika lampu berwarna merah, tetapi tanda ini wajib ditaati seluruh pemakai jalan.

“Peraturan Menteri Kesehatan sudah melarang, itu sebenarnya sudah jadi mazhab. Tetapi pemerintah nampaknya keder sama gertakan. Kalau pemerintahkekeh, kalau pemerintah berani, sebenarnya bisa. Tetapi nampaknya, belum berani karena masyarakat belum siap. Kita harus mengubah masyarakat kita, supaya anti khitan perempuan. Yang dilakukan dengan mentransformasikan paham agamanya, dan itu bukan mengubah ajaran agama. Yang diubah adalah pahamnya,” ujar Hamim.

Pemerintah Tidak Tegas

Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), Ika Ayu mengkritisi sikap pemerintah yang berubah-ubah terkait sunat perempuan. Ayu mencatat, pada 2006 ada larangan dari Kementerian Kesehatan terkait pemakaian fasilitas kesehatan pemerintah untuk praktik sunat perempuan. Dua tahun kemudian, muncul fatwa MUI yang juga menolak praktik ini. Namun, pada 2010 keluar Peraturan Menteri Kesehatan yang mencabut larangan yang dikeluarkan pada 2006 tadi.

BACA JUGA: Kementerian Perempuan Luncurkan Kampanye Akhiri Mutilasi Kelamin Perempuan

Ika melanjutkan, pada 2014 keluar Permenkes yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, yang mencabut Permenkes 2010.

“Jadi, dari sepanjang perjalanan tahun ini, terlihat sekali bahwa pemerintah Indonesia ini tidak benar-benar punya sikap yang jelas, atas sunat perempuan ini. Melarang atau membolehkan tapi dengan syarat, atau mengatur yang tidak boleh dilakukan klinik pemerintah. Jadi sikap pemerintah Indonesia sebenarnya tidak pernah jelas, dalam pengaturan praktek sunat perempuan, yang dalam target SDG’s sudah masuk dalam praktek yang membahayakan,” kata Ika dalam diskusi ini.

Ketidakjelasan sikap itu, menurut Ika perlu ditanyakan kembali pada pemerintah.

“Hari ini peringatan hari nol toleransi terhadap praktik sunat perempuan, tetapi faktanya masih banyak. Bagaimana kemudian negara bisa menyediakan jaminan atas pemenuhan hak bagi setiap warganya, ya kita bisa mempertanyakan. Bagaimana sunat itu melanggar hak, karena dilakukan tanpa persetujuan atau konsen anak perempuan,” ujar Ika.

Alasan Harus Ditolak

Aktivis kesehatan reproduksi, Mukhotib MD yang juga menjadi pembicara diskusi mengatakan, ada banyak alasan praktik sunat perempuan harus ditolak. Dia menyebut, alasan pertama adalah karena tidak ada keuntungan secara medis.

“Tidak ada untungnya. Tidak membuat perempuan menjadi sehat. Kalau tidak ada keuntungan secara medis, kenapa harus dilakukkan perlukaan itu, apalagi sampai pemotongan,” ujar Mukhotib.

Praktik sunat perempuan juga melanggar hak anak. Pemotongan atau perlukaan genital jelas melanggar hak anak yang dijamin berbagai konvensi dan UU Perlindungan Anak. Anak-anak telah dijamin bebas dari praktik yang merusak dan menyakiti tanpa persetujuan, dan sunat dilakukan tanpa persetujuan. Sunat perempuan juga ditengarai menjadi langkah kontrol atas tubuh perempuan. Tindakan ini juga beresiko menimbulkan rasa tidak percaya diri, rendah diri, dan perasaan menjadi korban.

BACA JUGA: Fakta Penting Seputar Sunat Perempuan

Mukhotib merekomendasikan beberapa langkah yang perlu dilakukan, diantaranya mengubah perspektif masyarakat. Norma dan nilai sosial terkait sunat perempuan harus diubah.

“Melarang tindakan di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan pemerintah, setidak-tidaknya. Dalam Peraturan Dirjen tahun 2006, seluruh Faskes dan Nakes negara dilarang melakukan itu. ini minimal harus dilakukan,” kata Mukhotib.

Sayang aturan tahun 2006 itu justru sudah diganti beberapa kali dengan aturan diatasnya, yang tidak memiliki semangat sama.

Mukhotib juga melihat pentingnya pendidikan bagi masyarakat agar lebih sadar, dengan basis kaluarga dan budaya. Pendidikan terkait dampak sunat perempuan juga harus diajarkan di fakultas kedokteran dan juga akademi kebidanan, agar pemahaman tenaga kesehatan sudah dimiliki sejak dini. [ns/lt]