Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah mengirim surat edaran ke seluruh gubernur di seluruh Indonesia terkait pengupahan untuk tahun depan. Melihat situasi ekonomi yang belum membaik, Ida meminta para gubernur untuk tidak menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP). Ketentuan itu juga disarankan untuk kepala daerah di bawahnya, yaitu bupati dan wali kota.
Keputusan Ida Fauziyah itu ditentang buruh perempuan yang tergabung dalam Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Luviana dari aliansi ini membacakan tuntutan itu dalam keterangan resmi kepada media, Minggu (1/11).
“Kami menolak pemiskinan buruh perempuan. Mendesak pemerintah untuk menaikkan UMP 2021, pandemi bukan alasan bagi Kementerian Tenaga Kerja untuk tidak menaikkan upah sementara pengusaha banyak diberi kemudahan dengan alasan serupa,” papar Luviana.
Aliansi juga mendesak pemerintah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) -organisasi buruh internasional- tentang UMP dan menghentikan kebijakan upah murah. Selain itu, mereka juga mendesak pengusaha yang selalu berdalih dan menutup keterbukaan dari buruh.
Tuntutan lain adalah penghentian praktik PHK sepihak, pemotongan upah, jam kerja panjang, upah lembur tidak dibayar, serta PHK tanpa pesangon sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Mereka juga meminta penghentian kemudahan bagi perusahaan untuk melanggar hak buruh, terutama buruh perempuan.
“Kami juga mendesak pemerintah untuk mengakui pekerjaan yang diinformalkan, dan mendesak DPR untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga yang sudah ditunda selama 16 tahun,” lanjut Luviana.
Kemnaker Kaji Dampak Pandemi
Sebelumnya Ida Fauziyah telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 terkait upah minimum tahun 2021. Surat edaran yang ditandatangani pada 26 Oktober 2020 itu mengatur Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19. Kemenaker mendasarkan keputusan itu karena pandemi Covid-19 telah berdampak pada kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan memenuhi hak pekerja atau buruh, termasuk dalam membayar upah.
Data pemerintah mencatat, pertumbuhan ekonomi triwulan II minus 5,32 persen. Data analisis dari hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga menemukan 82,85 persen perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan. Di mana dari jumlah itu, 53,17 persen usaha menengah dan besar dan 62,21 persen Usaha Mikro dan Kecil (UMK) mengalami kendala keuangan terkait pegawai dan operasional.
“Ini beberapa survei yang menjadi latar belakang kenapa dikeluarkan SE tersebut. Jadi intinya sebagian besar perusahaan tidak mampu membayar upah meskipun sebatas upah minimum yang berlaku saat ini,” ujar Ida Fauziyah dalam keterangan resmi kementerian yang dikeluarkan Rabu (28/10).
Sejauh ini, hanya empat provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Sulawesi Selatan yang memutuskan tetap menaikkan upah minimum 2021. Besarnya kenaikan antara 2- 4 persen dari angka upah tahun ini.
Tak Semua Perusahaan Terdampak
Sumiyati dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengakui, memang ada perusahaan yang terdampak pandemi. Di serikat itu saja, setidaknya sampai Juni 2020, ada 93.403 anggotanya dari 97 perusahaan yang terdampak, baik itu di PHK, dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya.
BACA JUGA: Buruh Perempuan Sepakat Menolak UU Cipta KerjaNamun, sebaliknya, Sumiyati juga mencatat ada perusahaan yang justru kebanjiran pesanan, seperti perusahaan yang memproduksi masker. Alih-alih mendapatkan keuntungan, buruh di pabrik yang menerima kenaikan pesanan justru dirugikan. Karena menerapkan protokol kesehatan, jumlah buruh dalam satu sif kerja harus dikurangi, tapi di sisi lain target produksi malah lebih banyak.
“Jadi saya lihat Surat Edaran Menaker ini sudah sewenang-wenang, mengabaikan perusahaan yang saat ini masih hidup sehat tidak terdampak pandemi Covid. Munculnya surat edaran ini artinya Kemenaker lebih mengakomodir kepentingan kapital, mengabaikan kondisi pekerja atau buruh yang saat ini lagi berjuang, tidak hanya berjuang menghadapi Covid 19, tetapi juga berjuang dari kesewenang-wenangan PHK, dirumahkan tanpa upah, kemudian juga jam kerja tinggi,” papar Sumiyati.
Your browser doesn’t support HTML5
Sumiyati juga meminta negara memperhatikan beban baru yang harus ditanggung buruh perempuan di masa pandemi, terutama mereka yang sudah memiliki anak. Di samping pekerjaan rumah tangga yang sejak lama menjadi beban mereka, pandemi juga membuat anak-anak harus belajar di rumah. Tanggung jawab ganda semacam itu semestinya juga menjadi pertimbangan dalam membuat keputusan.
Emma Liliefna dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga menyebut, tidak semua sektor ambruk karena pandemi. Dia memberi contoh, sejumlah perusahaan garmen dan perkebunan dalam penelitian yang dilakukan KSBSI menyatakan tidak menerima dampak signifikan.
“Surat Edaran Menaker ini tidak bisa disamaratakan pada semua sektor, seharusnya diskusi dulu dengan semua stakeholder, supaya bisa mendata sektor mana yang masih bisa mengalami kenaikan, dan sektor mana saja yang harus didiskusikan dengan pekerja supaya tidak naik atau naik sedikit sesuai kemampuan perusahaan,” kata Emma.
Surat edaran ini juga bersifat anjuran, buktinya ada beberapa provinsi tetap menaikkan upah minimum tahun depan. Emma menyarankan buruh untuk tetap bernegosiasi mengenai upah di tingkat wilayah.
Ketua Departemen Buruh Perempuan, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Dian Septi Trisnanti, mengaku ada beberapa daerah tetap menaikkan upah minimum. Namun, dia yakin mayoritas provinsi akan menjadikan surat edaran ini sebagai patokan. Kondisi itu, kata Dian, akan itu mempersulit posisi serikat pekerja dalam negosiasi terkait upah dan skala upah di tingkat perusahaan.
“Di masa pandemi, pengusaha memang terkena dampaknya, tapi saya mau menyampaikan bahwa buruh jauh lebih besar terkena dampak dibanding dengan pengusaha. Jadi kalau pengusaha susah, kami ini lebih susah,” kata Dian.
Mengutip pengalaman pada krisis moneter tahun 1998, kata Dian, UMP DKI Jakarta tahun itu masih bisa naik sekitar 16 persen. Sedangkan tahun 1999, saat krisis masih terasa, upah minimum provinsi di Jakarta masih bisa naik 23,8 persen. [ns/em]