United Nations Population Fund (UNFPA) atau Dana Kependudukan PBB bekerjasama dengan Komnas Perempuan membuat survei tentang kekerasan seksual di mata anak muda Indonesia pada 14-27 November 2021. Penerima penghargaan Young Innovators Fellow dari UNFPA, Neira Ardaneshwari Budiono mengatakan, survei itu melibatkan 600 responden usia 15-30 tahun dengan komposisi perempuan 75,8 persen dan laki-laki 22,8 persen, serta gender lain 1,3 persen.
Hasil survei menunjukkan 91,6 persen pernah mengalami, melihat, atau mendengar secara langsung setidaknya 1 jenis kekerasan seksual. Adapun bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu pesan bernada seksual, tatapan, dan candaan atau panggilan tidak sopan.
"Harapannya adalah bahwa hasil survei ini bisa menjadi advokasi berbasis bukti untuk melindungi korban kekerasan seksual, mencegah dan menghapus kekerasan seksual di Indonesia," jelas Neira Ardaneshwari Budiono dalam diskusi daring, Jumat (3/12/2021).
Hasil survei juga menunjukkan sebagian responden pernah menyaksikan atau mengalami sendiri, dengan rincian 37,6 persen dipaksa berhubungan seksual dan 61,5 persen disentuh bagian tubuh tertentu.
Kendati demikian, tidak semua korban menceritakan kekerasan tersebut kepada orang lain dan melaporkan ke pihak berwajib atau lembaga penyedia layanan. Namun, sebagian besar responden setuju bahwa korban kekerasan seksual membutuhkan dukungan psikologis dan perlu dipercaya orang-orang sekitar. Selain itu, para anak muda yang disurvei itu juga setuju perlu adanya payung hukum dan layanan yang berpihak kepada korban.
"Harapannya hasil survei ini juga bisa lebih menekankan bahwa orang muda adalah agen perubahan yang bisa mendorong payung hukum yang kuat dan berpihak kepada korban," tambah Neira.
Pegiat sosial Inayah Wulandari Wahid menyesalkan peraturan penghapusan kekerasan seksual yang tidak kunjung disahkan karena masih menjadi perdebatan di masyarakat. Padahal kata dia, jumlah kekerasan seksual di masyarakat cukup tinggi. Mulai dari penyebaran konten pribadi milik korban dan pemaksaan kegiatan seksual.
"Salah satunya yang membuat kekerasan seksual tinggi yaitu tidak ada consent atau persetujuan," jelas Inayah.
Inayah menilai konsep persetujuan tersebut tidak tepat dibandingkan dengan norma agama. Sebab, kata dia, setiap pemeluk agama dapat tetap mematuhi norma agama meskipun tidak tertulis dalam aturan penghapusan kekerasan seksual.
Ia juga mendorong masyarakat untuk bersuara melawan kasus kekerasan seksual di masyarakat guna mencegah tindakan serupa terus terjadi. Selain itu, Inayah mengimbau warga untuk menjaga data untuk mencegah disalahgunakan orang yang tidak bertanggung jawab.
Sementara Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengatakan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2010-2019 mencapai 2.775.042. Sedangkan pada 2020 tercatat sebanyak 299.911 kasus, dengan 2.389 kasus merupakan pengaduan langsung korban yang didominasi kasus berbasis gender.
"Jika kita bagi dalam hari maka setiap hari 760 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Itu sebanding dengan 31 perempuan mengalami kekerasan dalam setiap jam. Kita bisa bayangkan kekerasan seksual, masih belum dipandang sebagai situasi darurat," tutur Fuad.
BACA JUGA: KPI Pusat Bentuk Tim Penanganan, Pencegahan Perundungan dan Pelecehan SeksualFuad menambahkan kasus kekerasan seksual sebagian besar berupa pencabulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis gender siber (KBGS). Menurutnya, KBGS selama pandemi COVID-19 mengalami kenaikan tiga kali lipat menjadi 383 kasus dibandingkan 87 kasus pada 2019. Karena itu, kata Fuad, Komnas Perempuan intensif melakukan edukasi kepada warga agar menggunakan platform digital secara aman.
Di samping itu, Komnas Perempuan juga terus mendorong Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan. Termasuk bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dalam penerbitan Permendikbud 30 tentang pencegahan kekerasan seksual di kampus. [sm/ab]