Lembaga Indikator Politik Indonesia baru-baru ini melangsungkan survei mengenai persepsi para pemilih dari generasi Z dan generasi milenial terhadap isu krisis iklim di Indonesia. Hasilnya, para pemilih pemula dan muda ini semakin peduli akan isu tersebut.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei yang diselenggarakan bersama Yayasan Indonesia CERAH berlangsung dalam rentang waktu 6 hingga 16 September 2021. Responden dalam penelitian ini, katanya, menjangkau usia 17-35 tahun yang tersebar di seluruh provinsi, baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Ia menjelaskan, penarikan sampel dalam survei ini menggunakan metode stratified multistage random sampling. Adapun jumlah sampelnya mencapai 4.020 responden yang terdiri atas 3.216 orang yang berusia 17-26 tahun, dan 804 orang dengan usia 27-35 tahun. Asumsi metode ini memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sebanyak 2,7 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasil survei dalam penelitian ini, kata Burhanuddin, cukup mengagetkan tapi juga menggembirakan. Baik generasi Z (17-26 tahun) dan generasi milenial (27-35 tahun) yang mengetahui atau pernah mendengar istilah perubahan iklim mencapai 82 persen.
Lebih lanjut, hasil survei ini juga menunjukkan bahwa kalangan anak muda ini menempatkan lingkungan hidup sebagai salah satu isu yang paling mengkhawatirkan, selain korupsi. Mereka yang mengkhawatirkan lingkungan prosentasenya mencapai 82 persen, sementara yang mengkhawatirkan isu korupsi sebanyak 85 persen.
Ia menjelaskan sebanyak 53 persen responden merasa bahwa perubahan iklim sudah merugikan masyarakat Indonesia pada saat ini. Masih menurut responden, urutan permasalahan yang paling dikhawatirkan pada saat ini, dan pada tahun-tahun mendatang terkait iklim dan cuaca adalah cuaca ekstrem (42 persen), penumpukan sampah dan bahan plastik (36 persen), kesehatan (35 persen), penggundulan hutan (33 persen), dan polusi udara (24 persen).
“Mereka kita tanya juga tingkat kekhawatiran terhadap berbagai macam isu. Korupsi memang menempati peringkat paling tinggi, yaitu sangat khawatir, tetapi isu kerusakan lingkungan juga mendapatkan perhatian kalangan anak muda yang sangat besar,” ungkap Burhanuddin dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (27/10).
"Dan ini terus terang berbeda kalau kita bandingkan dengan survei umum. Di survei umum kebanyakan isu ekonomi, tapi kalau dibandingkan khusus anak muda saja beda, isunya bukan semata-mata soal ekonomi saja, tetapi isu korupsi dan kerusakan lingkungan," tambahnya.
Burhanuddin mengimbau agar para pembuat kebijakan -- dalam hal ini pemerintah dan para politisi -- menangkap kekhawatiran kalangan anak muda terkait kedua isu tersebut dengan membuat aksi nyata melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang ada. Apalagi, kedua sampel tersebut merepresentasikan kurang lebih 80 juta pemilih di Tanah Air atau 40 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen telah berpartisipasi pada Pemilu 2019, dan 84 persen menyatakan akan berpartisipasi lagi pada Pemilu 2024.
“Sekarang Indonesia mengalami proses peremajaan, jadi penting untuk memotret pendapat anak muda karena dalam teori democratic governance, kualitas demokrasi pemerintahan demokratis akan semakin baik, jika para policy makers, termasuk para politisinya, mampu menyerap populasi warga yang jumlahnya sesignifikan kalangan anak muda,” tuturnya.
Parpol Belum Anggap Serius Isu Krisis Iklim
Berdasarkan hasil survei tersebut kalangan anak muda ini juga menilai bahwa belum ada satu pun partai politik di Indonesia yang memiliki perhatian besar dalam upaya menghentikan atau mengatasi perubahan/krisis iklim.
BACA JUGA: Dengan Boneka dan Dongeng, Aktivis Berjuang Selamatkan Hutan Bakau“Namun yang juga menarik, survei menunjukkan partai politik dianggap belum memberikan perhatian dan belum menjadikan krisis iklim sebagai prioritas dalam agenda politik. Hampir semua partai hanya meraih nilai di bawah lima persen,” jelas Burhanuddin.
Temuan ini pun diamini oleh Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Adhityani Putri. Ia mengatakan sebenarnya Indonesia mempunyai peran yang besar bagi dunia dalam mengatasi isu krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan ini. Namun, katanya, memang diperlukan political will yang sangat kuat. Putri menilai selama ini isu perubahan iklim tersebut tidak menjadi isu utama dalam agenda partai-partai politik di Indonesia.
“Dalam debat-debat politik, krisis iklim selalu menjadi agenda yang bersembunyi di balik lingkungan hidup dan menjadi yang paling bontot dalam daftar pertanyaan di setiap panggung politik. Tidak ada parpol yang memiliki platform mengenai krisis iklim. Memang ada banyak politisi Indonesia yang sudah fasih berbicara mengenai krisis iklim, tetapi apakah menjadi agenda utama?” ungkap Putri.
Agenda utama Indonesia, katanya, selalu bukan mengenai krisis iklim. Padahal isu tersebut memiliki dampak yang multidimensional. Selain itu, solusi terkait krisis iklim tersebut bisa menjadi transformasi bagi perekonomian dan bagi landscape politik dan sosial Indonesia.
Ia pun berharap, hasil survei ini bisa membuka mata para politisi mengenai betapa pentingnya isu krisis iklim sehingga menjadi isu prioritas dalam agenda masing-masing partai politik menjelang Pemilu 2024.
BACA JUGA: Tambang Ilegal Kaltim: Kejahatan Terorganisir yang Dibiarkan MerajalelaBukan Isu Populis
Wali Kota Bogor sekaligus Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya mengakui bahwa memang krisis iklim belum menjadi isu yang populis di mata para politisi Tanah Air.
“Ini adalah survei bersejarah di Indonesia. Hari ini di Indonesia, isu-isu lingkungan, sustainable development, dan climate change belum menjadi isu populis untuk para politisi saat pemilu dan pilkada. Kemungkinannya dua, yaitu politisi tidak paham isu atau tidak paham bagaimana menjangkau pemilih pemula dan muda untuk memilih isu dan selanjutnya mengkomunikasikan isu tersebut. Jadi lebih banyak menjadikannya sebagai gimmick. Padahal anak muda suka yang substansial dan isu climate change seksi di mata anak muda," ujar Bima.
Bima mengatakan, ia sendiri merasa terkejut dengan pengetahuan kedua anaknya -- yang masih duduk di bangku SMP dan SMA -- mengenai krisis iklim.Menurutnya, belum tentu semua pejabat pemerintahan paham dengan isu ini seperti kedua anaknya.
“Ini anak-anak saya masih SMP dan SMA fasih banget, saya kaget, kok kalian tahu? Ya iyalah di sekolah diajarkan, diobrolin sama teman-teman, kemudian di sosmed, di mana-mana ada soal itu dan mereka bukan hanya sekedar aware tapi juga concern dan care. Ini yang tidak disadari oleh para politisi kita, isu yang luar biasa ini,” jelasnya.
Hasil temuan survei ini, katanya, juga menjadi suatu kritik tersendiri, terutama kepada pemerintah untuk bisa berbuat lebih banyak dalam upaya mengatasi permasalahan krisis iklim di masa-masa yang akan datang. Menurutnya, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dalam mengatasi hal itu. Butuh dukungan dan aksi nyata dari semua lapisan masyarakat agar krisis iklim bisa diatasi dengan baik. [gi/ab]