Makin banyak penduduk Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan orang yang berbeda keyakinan dan orientasi seksual.
Hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan sikap intoleransi terhadap perbedaan identitas oleh publik Indonesia makin mengkhawatirkan, dengan sekelompok orang menjustifikasi kekerasan terhadap kelompok yang berbeda tersebut.
Peneliti LSI, Ardian Sopa, pada Minggu (21/10) menjelaskan, hasil survei yang dilakukan pada 1-8 Oktober pada 1.200 responden menunjukkan bahwa hampir 50 persen warga Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan jemaah Syiah dan Ahmadiyah.
Selain itu, menurut Ardian, lebih dari 80 persen responden merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan kelompok homoseksual. Sementara itu, mereka yang mengaku tidak merasa nyaman bertetangga dengan pemeluk agama lain adalah 15 persen, ujar Ardian.
“Yang menyatakan tidak menerima [hidup berdampingan dengan mereka] yang berbeda agama adalah 15,1 persen. Lalu masyarakat yang merasa tidak menerima tetangganya orang Syiah itu 41,8 persen. Untuk Ahmadiyah 46,6 persen. Dan untuk homoseksual itu 80,6 persen. Jadi ini kenyataan buat kita bahwa 15 sampai 80 persen publik Indonesia tidak menerima dengan yang berbeda identitas,” ujarnya.
Ardian menambahkan peningkatan intoleransi baik terhadap syiah, Ahmadiyah, beda agama dan kelompok homoseksual naik dari sekitar 6-20 persen di setiap segmennya pada 2005. Bahkan 20 persen lebih koresponden setuju menggunakan kekerasan dalam menegakkan prinsip agama, menurut Ardian.
Dalam survei yang dilakukan LSI ini, para responden menilai Presiden, politisi dan polisi kurang optimal melindungi perbedaan keyakinan dan keamanan serta hak asasi masyarakat.
“Yang menyatakan cukup puas terhadap kinerja Presiden ahanya 25,1 persen, sementara itu 62,7 persen menyatakan tidak puas dengan kerja Presiden. Untuk politisi juga begitu, ada 58,1 persen yang menyatakan kurang puas dan hanya 37,7 persen yang menyatakan puas. Untuk polisi yang menyatakan kurang puas atau tidak puas ada 64,7 persen dan hanya 29,5 persen,” ujar Ardian.
Peneliti dari Yayasan Denny JA Novriantony Kahar mengatakan hasil survei dari LSI itu aalah kabar buruk buat Indonesia, mengingat adanya peningkatan sikap intoleransi.
“Ini adalah kabar buruk bagi Indonesia. Ini menandakan bahwa secara politik Indonesia sangat bebas, tapi sebenarnya secara sosio kultural Indonesia mengandung berbagai persoalan. Kekerasan-kekerasan komunal dan kekerasan berbasis agama, etnik, gender dan sebagainya masih terjadi di Indonesia yang sudah 14 tahun mngalami reformasi,” ujarnya.
Aktivis anti diskriminasi Guntur Romli kepada VOA mengatakan negara tidak hanya telah membiarkan berlangsungnya sejumlah kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia, tetapi dalam banyak kasus negara juga terlibat dalam melakukan kekerasan itu.
“Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan juga pemerintah terlibat dalam kekerasan itu. Misalnya kriminalisasi terhadap korban dilakukan oleh negara melalui peradilan yang ada di Indonesia, seperti pada kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan kasus terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura,” ujar Guntur.
“Pemerintah terlihat tidak mau mengambil risiko karena isu ini dianggap sensitif dan tidak menguntungkan dari sisi kalkukalsi politik. Selain itu, pemerintah telah terjebak dalam partai-partai yang mendukung intoleransi.”
Peneliti LSI, Ardian Sopa, pada Minggu (21/10) menjelaskan, hasil survei yang dilakukan pada 1-8 Oktober pada 1.200 responden menunjukkan bahwa hampir 50 persen warga Indonesia merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan jemaah Syiah dan Ahmadiyah.
Selain itu, menurut Ardian, lebih dari 80 persen responden merasa tidak nyaman hidup berdampingan dengan kelompok homoseksual. Sementara itu, mereka yang mengaku tidak merasa nyaman bertetangga dengan pemeluk agama lain adalah 15 persen, ujar Ardian.
“Yang menyatakan tidak menerima [hidup berdampingan dengan mereka] yang berbeda agama adalah 15,1 persen. Lalu masyarakat yang merasa tidak menerima tetangganya orang Syiah itu 41,8 persen. Untuk Ahmadiyah 46,6 persen. Dan untuk homoseksual itu 80,6 persen. Jadi ini kenyataan buat kita bahwa 15 sampai 80 persen publik Indonesia tidak menerima dengan yang berbeda identitas,” ujarnya.
Ardian menambahkan peningkatan intoleransi baik terhadap syiah, Ahmadiyah, beda agama dan kelompok homoseksual naik dari sekitar 6-20 persen di setiap segmennya pada 2005. Bahkan 20 persen lebih koresponden setuju menggunakan kekerasan dalam menegakkan prinsip agama, menurut Ardian.
Dalam survei yang dilakukan LSI ini, para responden menilai Presiden, politisi dan polisi kurang optimal melindungi perbedaan keyakinan dan keamanan serta hak asasi masyarakat.
“Yang menyatakan cukup puas terhadap kinerja Presiden ahanya 25,1 persen, sementara itu 62,7 persen menyatakan tidak puas dengan kerja Presiden. Untuk politisi juga begitu, ada 58,1 persen yang menyatakan kurang puas dan hanya 37,7 persen yang menyatakan puas. Untuk polisi yang menyatakan kurang puas atau tidak puas ada 64,7 persen dan hanya 29,5 persen,” ujar Ardian.
Peneliti dari Yayasan Denny JA Novriantony Kahar mengatakan hasil survei dari LSI itu aalah kabar buruk buat Indonesia, mengingat adanya peningkatan sikap intoleransi.
“Ini adalah kabar buruk bagi Indonesia. Ini menandakan bahwa secara politik Indonesia sangat bebas, tapi sebenarnya secara sosio kultural Indonesia mengandung berbagai persoalan. Kekerasan-kekerasan komunal dan kekerasan berbasis agama, etnik, gender dan sebagainya masih terjadi di Indonesia yang sudah 14 tahun mngalami reformasi,” ujarnya.
Aktivis anti diskriminasi Guntur Romli kepada VOA mengatakan negara tidak hanya telah membiarkan berlangsungnya sejumlah kekerasan terhadap kaum minoritas di Indonesia, tetapi dalam banyak kasus negara juga terlibat dalam melakukan kekerasan itu.
“Pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan juga pemerintah terlibat dalam kekerasan itu. Misalnya kriminalisasi terhadap korban dilakukan oleh negara melalui peradilan yang ada di Indonesia, seperti pada kasus Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan kasus terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura,” ujar Guntur.
“Pemerintah terlihat tidak mau mengambil risiko karena isu ini dianggap sensitif dan tidak menguntungkan dari sisi kalkukalsi politik. Selain itu, pemerintah telah terjebak dalam partai-partai yang mendukung intoleransi.”