Beberapa pekan ini terjadi saling serang opini terkait pernyataan calon gubernur Basuki Tjahja Purnama yang dinilai menghina umat Muslim. Ini bukan kejadian pertama. Lepas dari kontroversi yang terjadi, ini merupakan fenomena baru dalam pemilihan gubernur Jakarta dan mungkin dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Lingkaran Survei Indonesia dalam konferensi pers di Jakarta mengatakan alasan agama terbukti membuat dukungan bagi Ahok - panggilan akrab Basuki Tjahja Purnama - merosot. Peneliti LSI Ardian Sopa menjelaskan hal ini.
“Data kita memperlihatkan masyarakat tidak ingin dipimpin oleh non-muslim sekarang ini meningkat. Angkanya dari 40 persen di bulan Maret, sekarang di angka 55 persen. Terlebih sentimen-sentimen ini potensial akan terus berlanjut sampai masa pemilihan di 15 Februari 2017,” demikian Ardian Sopa, peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia.
Kian membesarnya sentimen anti-Ahok karena alasan agama, menurut Ardian Sopa, bisa dipicu dengan isu kini sedang ramai terkait tafsir surat Al-Maidah ayat 51, dimana Ahok dituding menistakan Islam.
Jajak pendapat oleh LSI ini berlangsung pada 28 September-2 Oktober 2016 dengan responden berjumlah 440 orang, dilakukan lewat wawancara tatap muka.
Riset menggunakan metode multi-stage random sampling dengan tingkat kesalahan plus minus 4,8 persen. Survei ini dibiayai sendiri dan dilengkapi pula dengan kualitatif riset (FGD/focus group discussion, analisis media, dan wawancara mendalam).
Your browser doesn’t support HTML5
Ardian Sopa menambahkan jika pemilihan berlangsung hari ini head-to-head dan hanya ada dua pasang calon di putaran kedua, pasangan Ahok-Djarot kalah atas pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno atau Agus Harimurti-Sylviana Murni.
Jika pasangan Ahok-Djarot head-to-head dengan pasangan Anies-Sandi, pasangan Ahok-Djarot mendapatkan 32,1 persen dan pasangan Anies–Sandi mendapatkan 38,0 persen, sementara suara pemilih rahasia/belum memutuskan di angka 29,9 persen. Bila pasangan Ahok-Djarot head-to-head dengan pasangan Agus-Sylvi, pasangan Ahok-Djarot mendapatkan 31,9 persen dan Agus-Sylvi mendapatkan 35,1 persen rahasia belum memutuskan 33,0 persen.
LSI juga membandingkan segmen pemilih antara ketiga pasangan. Pemilih pasangan Ahok-Djarot mempunyai profil non-muslim, Tionghoa, usia tua, pendidikan bawah, pemilih PDI Perjuangan. Sedangkan profil pemilih pasangan Anies-Sandi, dan Agus-Sylvi mempunyai profil yang sama, yaitu muslim, diluar Tionghoa, usia muda, pendidikan atas, pemilih partai pendukung plus partai Golkar.
Ardian Sopa mengatakan ada empat alasan kenapa pasangan Ahok-Djarot kalah jika harus berhadapan dengan pasangan Anies-Sandi atau Agus-Sylvia diputaran kedua.
Pertama, perpindahan dukungan. Jika pasangan Ahok-Djarot berhadapan dengan Anies-Sandiaga Uno, pendukung Agus-Sylvi lebih banyak mengalihkan dukungan ke Anies-Sandi (64,3 persen) dibanding ke Ahok-Djarot (14,3 persen), sebab profil pemilih Anies-Sandi dan Agus-Sylvi sama.
Begitu pula, kalau pasangan Ahok-Djarot bertarung dengan Agus-Sylvia, pendukung Anies-Sandi pindah ke Agus-Sylvi (59,1 persen) ketimbang ke Ahok-Djarot (8,6 persen).
Ketiga, pemilih non-Tionghoa berjumlah 90 persen lebih dari total pemilih, tidak ingin dipimpin oleh etnis Tionghoa meningkat dari 30 persen pada Maret 2016 menjadi 50 persen di Oktober 2016.
Keempat, membesarnya isu anti-Ahok di luar isu agama dan primordial, yakni mengenai kebijakan dan personalitas Ahok. Pada Maret 2016, yang tidak setuju dengan kebijakan dan personalitas Ahok 25 persen, naik menjadi 38,6 persen di Oktober 2016.
Peneliti LSI lainnya Dewi Arum mengatakan elektabilitas dan kesukaan terhadap Ahok kian melorot. Hasil survei LSI ini tambahnya masih bisa berubah, namun dia menekankan pemilihan Gubernur Jakarta berpotensi besar untuk berlangsung dalam dua putaran.
Pada survei bulan Maret, elektabilitas Ahok pada angka 59,3 persen. Pada survei Juli, turun menjadi 49,1 persen, dan terakhir, September kemarin, ada di angka 31,4 persen. Untuk variabel kesukaan, Ahok pada Maret 2016 sekitar 71,3 persen, Juli turun 68,9 persen, dan September 58,2 persen.
Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti berharap kampanye hitam dengan menggunakan isu SARA (Suku, Agama dan Ras) tidak digunakan dalam pemilu termasuk pilkada.
“Hampir di semua wilayah Indonesia, sentimen SARA itu memang menjadi senjata atau senjata pamungkas bagi pasangan-pasangan calon. Kalau kampanye yang black atau kampanye hitam itu yang menurut saya harus dihindari kalau kita menginginkan pilkada di manapun di Indonesia benar-benar fair,” ujar pengamat LIPI, Ikrar Nusa Bhakti. [fw/em]