Pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, Rabu (2/12), melangsungkan pembicaraan dengan Presiden Thein Sein untuk membahas pengalihan kekuasaan yang mulus dan damai ke pemerintah yang terpilih secara demokratis untuk pertama kali setelah hampir lima dekade pemerintahan militer.
Pertemuan singkat antara peraih Nobel Perdamaian dan presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya di tempat kediamannya di ibukota, Naypyitaw, itu merupakan bagian dari upaya Aung San Suu Kyi untuk mewujudkan pembicaraan rekonsiliasi nasional. Upaya itu diumumkan segera setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), merebut kemenangan besar atas partai berkuasa yang didukung militer, Serikat Solidaritas, dan Partai Pembangunan pada pemilu 8 November.
Suu Kyi juga kemudian juga bertemu dengan Jenderal Min Aung Hlaing, panglima angkatan bersenjata Myanmar, di kantornya di Naypyitaw. Hlaing mengatakan kepada wartawan, pembicaraan itu berlangsung baik, namun tidak merinci lebih jauh.
Berdasarkan konstitusi Myanmar yang berlaku sekarang, militer ditetapkan menguasai 25 persen kursi di parlemen, dan memegang posisi-posisi penting pemerintah, termasuk bidang pertahanan, dalam negeri dan keamanan perbatasan.
Banyak pihak di negara itu khawatir, militer akan mengabaikan hasil pemilu bulan lalu itu, seperti yang dilakukan pada tahun 1990. Ketika itu militer tidak menerima kemenangan meyakinkan LND dan menempatkan Aung San Suu Kyi dalam tahanan rumah selama 20 tahun berikutnya. Namun kali ini, presiden dan Hlaing telah berjanji akan menerima hasil pemilu November itu.
Konstitusi Myanmar melarang Aung San Suu Kyi yang berusia 70 tahun menjabat sebagai presiden karena mendiang suaminya dan kedua putranya berkewarganegaraan Inggris. Namun ia menyiratkan, ia akan menjadi pemimpin bayangan. [ab]