Hingga saat ini pada tahun 2016, 10 jurnalis profesional telah dibunuh di Afghanistan saat menjalankan tugas mereka, menjadikan tahun ini sebagai tahun yang paling banyak diwarnai kekerasan bagi wartawan dalam sejarah negara itu. Demikian kesimpulan sebuah laporan baru yang dikeluarkan sebuah kelompok pengamat wartawan.
Komisi Keamanan Jurnalis Afghanistan - demikian nama kelompok itu - merilis laporan per enam bulannya, Senin (11/7), dan mencatat adanya 54 insiden kekerasan terhadap wartawan sejak awal tahun, atau peningkatan sebesar 38 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Laporan itu mencatat, kekerasan itu pada umumnya dilakukan atas atas nama pemerintah, tapi tidak memberikan rincian spesifik mengenai mereka yang terlibat. Laporan itu juga mencatat, jumlah kasus yang melibatkan individu yang terkait Taliban meningkat secara drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Laporan itu menyebutkan, pemerintah bertanggungjawab atas 21 insiden kekerasan, sementara Taliban bertanggungjawab atas 16 kasus.
Sementara mengatakan bahwa media yang relatif bebas di negara itu meraih kemajuan besar dalam 15 tahun terakhir, laporan itu juga mencatat bahwa keterlibatan perempuan dalam jajaran pers menurun seiring memburuknya situasi keamanan di negara itu.
"Belakangan ini, kehadiran perempuan di media umumnya terbatas di wilayah-wilayah perkotaan,“ sebut laporan itu.
“Fakta bahwa perempuan masih memiliki peran yang lebih lemah dibanding pria dalam kepemimpinan dan sektor pemberitaan ini mempertegas adanya kemunduran dalam keterlibatan dan pertumbuhan kualitas perempuan di media,” tambah laporan tersebut.
Laporan itu menyerukan agar Kementerian Informasi Afghanistan berbuat lebih banyak dalam menciptakan iklim kerjasama antara pejabat pemerintah dan jurnalis. Kurangnya, usaha berbagi informasi, kata laporan itu, merupakan salah satu rintangan yang menghalangi kerja jurnalis di negara itu. [ab/uh]