Tak Ada Alasan Tunda Pemilu dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)

Sejumlah politisi partai dari PKB, Golkar dan PAN menyuarakan wacana penundaan Pemilu 2024, sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden. Menurut sejumlah pengamat, wacana itu tidak memiliki alasan kuat.

Para pengamat mengatakan wacana mengenai penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden yang dilontarkan sejumlah politisi tidak memiliki alasan kuat dan bahkan malah menunjukkan inkonsitensi. Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengingatkan bagaimana secara massif politisi menyerukan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan tepat waktu di tengah perebakan COVID-19. Padahal banyak pihak yang menuntut pelaksanaan tersebut ditunda.

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati dalam tangkapan layar.

“Ada semacam ketidakkonsistenan, dari yang tadinya di 2020 segala argumentasi dikeluarkan supaya tetap pilkada, termasuk pIlkada sebagai stimulus ekonomi. Tetapi di tahun ini muncul wacana penundaan pemilu, karena alasan pandemi atau ekonomi. Jadi berkebalikan,” kata Khoirunnisa dalam diskusi Tolak Penundaan Pemilu 2024 yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.

Dia juga mengingatkan, banyak negara tetap menggelar pemilu di tengah pandemi yang sudah berlangsung hampir dua tahun ini.

Partai Gagal Kaderisasi

Khoirunnisa juga menjabarkan pemilu adalah kesempatan bagi rakyat sebagai pemilih untuk mempraktikkan mekanisme reward and punishment. Politisi yang bekerja baik dan dipercaya akan dipilih kembali, dan sebaliknya yang dinilai buruk akan ditanggalkan. Penundaan Pemilu meniadakan mekanisme itu.

Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

“Tujuan pemilu bukan sekedar ada eksekutif dan legislatif terpilih, presiden terpilih, dan DPR terpilih, tetapi ada tujuan-tujuan lain. Misalnya integrasi politik dan representasi. Kita, pemilih melalui pemilu, sebagai warga negara bisa melakukan reward dan punishment itu,” ujarnya.

Kemudian soal pendapat yang mengatakan bahwa pemilu ditunda karena sosok presiden saat ini dianggap performanya baik dan difavoritkan masyarakat. Menurut Khoirunnisa alasan itu melahirkan pertanyaan kepada partai-partai politik.

“Kenapa tidak disiapkan kader-kader yang lain. Kenapa hanya ada hanya satu sosok figur yang difavoritkan? Kan, menjadi tugasnya partai politik untuk mencetak kader, mempersiapkan kader, sehingga setiap mau pemilu, kita punya alternatif untuk dipilih,” tambah Khoirunnisa.

BACA JUGA: KPU: Pemilu Serentak Jatuh pada 14 Februari 2024

Alasan kompleksitas pemilu, katanya, juga tidak bisa diterima karena masih cukup waktu untuk mempersiapkan. Sedangkan beban anggaran juga tidak layak disinggung, karena telah Pemilu menjadi kepentingan bersama dan membutuhkan anggaran, sebagaimana program pemerintah yang lain.

Butuh Keteladanan Presiden

Untuk menunda pemilu, diperlukan amandemen UUD 1945. Presiden Joko Widodo, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari, dituntut menjadi contoh dalam menjaga UUD 1945 itu.

Feri Amsari, Direktur Pusako, Universitas Andalas, Padang. (Foto: Dok Pribadi)

“Konsep berkonstitusi adalah kesadaran dari seluruh warga negaranya untuk menghormati konstitusi. Terutama bagi seorang penyelenggara negara sekelas presiden,” ujarnya.

Penghormatan terhadap konstitusi adalah menerima kesepakatan yang telah dibentuk itu, apapun isinya, meski ada bagian yang tidak sesuai keinginan pihak tertentu.

“Presiden harus bertanggung jawab sebagai orang yang paling depan untuk menghormati konstitusi. Presiden harus memastikan dengan sikap dan tindakannya, tentu saja, sikap dan tindakan administrasi negara, tindakan penyelenggara negara yang betul-betul memastikan bahwa pemilu 2004 akan berlangsung,” kata Feri.

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Jika Jokowi bertindak nyata, dan diikuti oleh penyelenggara negara lain untuk memastikan Pemilu sesuai jadwal, kata Feri, batin publik akan tenang.

Memetakan Sikap Partai

Sementara Arya Fernandes, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, menyebut amandemen UUD 1945 harus dicegah. Caranya adalah memastikan partai-partai politik untuk menyatakan komitmennya secepat mungkin. Seluruh pihak harus mencegah partai atau fraksi di MPR dan juga DPD melakukan amandemen.

Arya Fernandes, peneliti CSIS. (Foto: Dok Pribadi)

“Kita harus “memaksa” partai-partai menunjukkan sikapnya terhadap isu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan ini. Sehingga dengan kita tahu positioning partai ini, kita bisa mengukur peta kekuatan,” paparnya.

Arya menambahkan, berdasarkan konstitusi usulan perubahan UUD 1945 harus diajukan oleh sepertiga jumlah anggota MPR. Jumlah anggota MPR sendiri adalah 575 orang dari DPR dan 136 dari DPD, atau total 711 orang. Artinya, dibutuhkan 236 suara untuk usulan amandemen.

Dari jumlah tersebut, dapat dipetakan partai mana saja yang mewacanakan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Arya melihat, PDIP, Gerindra, Partai Nasdem, PKS, Demokrat dan DPD akan berperan strategis dalam upaya ini.

Petugas pemilu memakai masker pelindung saat pemilihan kepala daerah di Denpasar, Provinsi Bali, 9 Desember 2020. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via REUTERS)

Arya juga mendorong ormas-ormas, seperti NU dan Muhammadiyah mengadakan pertemuan dengan DPD untuk menjaga mereka dari kemungkinan ikut mendukung amandemen.

Referendum Jika Perlu

Ridho Al Hamdi, Wakil Dekan Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam diskusi ini bahkan menyebut jika politisi akan melakukan amandemen maka rakyat bisa menuntut pelaksanaan referendum.

“Mengapa referendum ini perlu? Ini menunjukkan ketidakpercayaan kita lagi kepada wakil rakyat. Maka kita kembalikan kepada pemilik sah republik ini. Siapa itu? Rakyat,” tegas Ridho.

BACA JUGA: Mengapa Perempuan Tak Kunjung Capai Kuota 30% di DPR?

Dia mengatakan, rakyat adalah pemilik sah yang berdaulat atas republik. Referendum adalah proses pemungutan suara yang melibatkan seluruh pemilik sah republik, yaitu rakyat.

“Seandainya kita serahkan kepada MPR, ya drama Korea, yang mudah ditebak akhirnya,” tambahnya.

Referendum juga merupakan maka cara lain bagi rakyar untuk menghukum parlemen, tambah Ridho. Jika memang politisi tidak menghendaki referendum, maka semua proses ini harus dikembalikan ke alur semestinya, dan Pemilu 2024 berjalan sesuai rencana.

Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar ( baju putih peci hitam- tengah) menemui Walikota Solo yang juga putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (kanan- baju batik), akhir Maret lalu. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar sebelumnya memang telah melontarkan gagasan penundaan Pemilu sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden. Salah satu alasannya, adalah karena tingkat kepuasan kepada Jokowi yang cukup tinggi. Selain itu, pandemi dan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi juga menjadi pertimbangan.

Ketua Umum Golkar, Airlanggar Hartarto kemudian juga bersuara sama, dengan dalih telah mendengar aspirasi masyarakat, khususnya petani sawit yang baru saja ditemuinya. Sementara Ketua Umum PAN, juga mengekor pendapat itu.

Your browser doesn’t support HTML5

Tak Ada Alasan Tunda Pemilu dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

Selain memiliki alasan yang sama dengan Muhaimin Iskandas, Zulkifli Hasan juga menambahkan perang Rusia-Ukraina dan harga minyak dunia yang tidak menentu sebagai alasan. Dia juga menilai, anggaran yang membengkak dan lebih baik konsentrasi tertuju pada kepentingan rakyat. Selain itu, program pembangunan nasional juga banyak tertunda karena pandemi. [ns/ah]