Otoritas fundamentalis Taliban di Afghanistan, Kamis (22/2) mengeksekusi mati dua orang yang telah divonis bersalah atas pembunuhan dalam beberapa insiden terpisah.
Mahkamah Agung Taliban mengatakan eksekusi tersebut dilakukan dengan senjata di sebuah stadion sepak bola di kota Ghazni, di bagian tenggara Afghanistan.
Sejumlah besar pejabat kehakiman dan pemerintah, serta penduduk, menyaksikan peristiwa tersebut, tetapi tidak ada yang diizinkan membawa telepon seluler atau kamera ke stadion.
Pernyataan pengadilan mengatakan kedua terpidana mati diadili dan dinyatakan bersalah karena menikam dua orang secara fatal. Ditambahkan, perintah pengadilan diberlakukan setelah pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, menyetujuinya.
Sejak merebut kembali kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021 dan memberlakukan interpretasi keras terhadap hukum Islam, Taliban telah mengeksekusi empat orang dan mencambuk sekitar 350 orang lainnya, termasuk perempuan, di depan ratusan orang. Perempuan yang menjadi korban hukuman keras itu umumnya dituduh melakukan kejahatan seperti perzinahan dan melarikan diri dari rumah.
PBB Minta Taliban Hentikan Eksekusi Mati dan Cambuk
PBB telah mengkritik hukuman itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia, dengan mengatakan hukuman tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan harus dihentikan. Namun Taliban menolak kritik tersebut, dengan mengatakan sistem peradilan pidana dan pemerintahan mereka didasarkan pada aturan dan pedoman Islam.
Pencambukan dan eksekusi di depan umum merupakan hal yang rutin dilakukan di bawah pemerintahan Taliban sebelumnya, yang berkuasa pada tahun 1996-2001.
Pihak berwenang Afghanistan telah memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap hak-hak perempuan atas pendidikan dan kehidupan publik. Mereka melarang pengunjung perempuan untuk mengunjungi taman dan pusat kebugaran, serta melarang anak perempuan untuk bersekolah di atas kelas enam sekolah dasar.
Taliban telah mengabaikan protes dan seruan internasional untuk mencabut pembatasan terhadap perempuan.
Perlakuan terhadap perempuan ini yang terutama membuat negara-negara asing enggan mengakui pemerintahan Taliban di Kabul. Sebuah panel pakar PBB minggu ini menyerukan agar negara-negara lain secara resmi mengakui "apartheid gender" sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, menyoroti penindasan terhadap perempuan dan anak perempuan di bawah rezim seperti Taliban di Afghanistan. [em/lt]
ISLAMABAD —