Tanwir II Aisyiah Bahas Cadar, Toleransi, Hingga Pendidikan

  • Nurhadi Sucahyo

Sidang Tanwir II Aisyiah juga menandai kiprah 100 tahun di dunia pendidikan. (foto: Humas Aisyiah).

Organisasi perempuan Aisyiah menggelar Tanwir, semacam rapat kerja, di Yogyakarta pada 16-18 November 2019. Banyak isu yang dibicarakan, terutama terkait perempuan.

Tanwir tahun ini istimewa karena menandai 100 tahun kiprah Aisyiah di dunia pendidikan. Aisyiah, sayap organisasi perempuan Muhammadiyah yang berdiri pada 1917, memelopori gerakan pendidikan untuk anak-anak Indonesia melalui Taman Kanan-Kanak (TK) Aisyiah Bustanul Athfal (ABA) pada 1919.

Namun, bukan isu pendidikan saja yang menjadi perbincangan hangat dalam Tanwir II kali ini, yang digelar di Yogyakarta, 16-18 November. Siti Noordjannah Djohantini, Ketua Umum PP Aisyiah menyebut toleransi hingga pemakaian cadar di kalangan perempuan Muslim, juga disinggung. Aisyiah, kata Siti, terus mendorong kehidupan damai pada tingkat bawah.

Ketua Umum PP Aisyiah, Siti Noordjannah Djohantini. (foto Humas Aisyiah)

“Aisyiah, sebagai organisasi perempuan, ingin mendorong pimpinan di tingkat akar rumput untuk mengambil peran lebih giat dalam melakukan usaha bersama-sama komunitas lain untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih rukun, kami sebut sebagai damai bersama,” ujar Siti.

Garisbawahi Peran Aisyiah

Indonesia memiliki budaya guyub, rukun, saling menghargai dan toleran sejak lama. Namun, belakangan ini konflik terus terjadi, bahkan hingga berbentuk kekerasan yang menimbulkan korban. Dua fakta itu menjadi perhatian penting, dan menggerakkan Aisyiah untuk mendorong aktivisnya pada berbagai tingkatan agar berperan lebih besar dalam mengatasinya.

Upaya itu, kata Siti, telah dimulai di sekolah-sekolah TK yang dikelola Aisyiah. Anak-anak dikenalkan pada toleransi dan belajar memahami perbedaan. Aisyiah memiliki pengalaman empiris dalam isu ini, karena di berbagai tempat seperti Bali, NTT dan Papua, anak-anak yang bersekolah di TK ABA datang dari berbagai agama. Pengalaman itulah yang dipakai dalam perwujudan kehidupan damai bersama, bersandar pada pemahaman Islam Berkemajuan milik Muhammadiyah.

Aisyiah menanamkam toleransi melalui pendidikan sejak dini, seperti di TK ABA sejak 1919. (foto Humas Aisyiah)

Aisyiah juga mendorong toleransi lewat forum pertemuan anggota di seluruh Indonesia, seperti pengajian, untuk melawan radikalisme yang berkembang. Dalam kegiatan itu, Aisyiah mendiskusikan gerakan nir-kekerasan sebagai jalan dakwah. Dalam isu cadar misalnya, Aisyiah jelas bersikap bahwa pilihan berbusana itu bukan kewajiban.

“Seperti isu soal cadar di perguruan tinggi, dan bahkan sekarang masih menjadi pembicaraan. Bagi kami di Aisyiah, jelas bahwa yang busana syar’i itu sesuai keputusan Majelis Tarjih. Dan cadar itu bukan menjadi indikasi syar’i dalam pandangan Tarjih Muhamamdiyah,” jelas Siti.

Namun, sebagai pilihan, Aisyiah memandang cadar sebagai hak bagi pemakainya. Dialog akan terus dilakukan untuk membuka pemahaman yang lebih baik bagi pihak-pihak yang berpolemik dalam soal ini.

Muhammadiyah Soroti “Hijrah”

Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam pembukaan Tanwir Aisyiah juga mengupas persoalan ini. Dalam sudut pandang yang lebih luas, Haedar memotret semangat yang lebih di kalangan Muslim dalam menjalankan agama misalnya antrian panjang untuk beribadah haji dan umrah dan gerakan sholat berjamaah yang bergelora. Pada saat yang sama, kata Haedar, pada kelas menengah Indonesia, ada semacam keinginan untuk kembali pada Islam. Gerakan itulah yang disebut banyak orang sebagai hijrah

Mengenakan cadar pun kian populer di kalangan kelas menengah. Fenomena ini, menurut Haedar menjadi bagian dari begitu bersemangatnya mereka dalam kaitan hijrah tadi. Padahal, Muhammadiyah sendiri sudah memiliki pedoman dalam berpakaian bagi perempuan. Menutup muka dan tangan, tidak masuk sebagai kewajiban.

Ketua PP Muhamadiyah, Haedar Nashir. (foto Humas Aisyiah)

“Boleh jadi ada yang saking semangatnya dan atau mungkin karena kesimpulan dari paham tertentu, lalu sekarang mulai marak menutup muka dan tangan, yang kemudian menjadi polemik di ruang publik. Maka tugas dakwah kita, adalah memahamkan apa yang telah menjadi pandangan Islam dalam Muhammadiyah,” tegas Haedar.

Dalam beragama, pesan Haedar, tidak boleh ekstrem. Nabi Muhammad sendiri mengajarkan hal itu. Haedar meminta Aisyiah menjadi pelopor dan penggerak dakwah Islam Berkemajuan, yang menjelaskan Islam secara mendalam, luas dan substantif.

“Bagi umat beragama, khususnya umat Islam, berpakaian itu tentu mengikuti pakaian yang moderat. Sesuai ajaran Islam. Hal-hal yang sifatnya paham tertentu, harus mengembalikan pada paham yang berlaku umum,” ujar Haedar.

BACA JUGA: Islam di Indonesia: Pertautan Sejarah yang Berliku 

Di tengah pro kontra kehidupan berbangsa, kata Haedar, Aisyiah harus berperan dalam dakwah yang mencerahkan.

“Secara sosial, juga harus membangun hubungan antar komponen bangsa, antar warga bangsa, yang beragam agama, suku, golongan, dan daerah, sehingga relasi itu berjalan baik. Agama tidak mengajarkan eksklusifitas. Agama mengajarkan kita berhubungan dengan semua warga bangsa, dengan sesama umat manusia, tanpa ada sekat dalam urusan sesama manusia,” tambah Haedar.

Pemerintah Akui Peran Aisyiah

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjadi pembicara kunci dalam Pembukaan Tanwir yang mengambil tema Dinamisasi Gerakan Menebar Islam Berkemajuan. Muhadjir berharap, gerakan Muhammadiyah dan Aisyiah yang berlandaskan Islam Berkemajuan, terus berperan dalam membangun Indonesia.

Di hadapan sekitar 300 aktivis perempuan Aisyiah dari 34 provinsi, Muhadjir memaparkan arah dan prioritas pembangunan ke depan. Ada pergeseran dari penguatan infrastruktur menjadi penguatan pembangunan manusia, sebagai Visi-Misi Presiden Jokowi.

Your browser doesn’t support HTML5

Tanwir II Aisyiah Bahas Cadar, Toleransi, Hingga Pendidikan


Muhadjir menggarisbawahi peran perempuan dalam turut membangun manusia Indonesia.

“Kita membangun manusia Indonesia dari hulu. Kalau hulu sudah bagus, akan ada harapan di perjalanan. Oleh karena itu, menumbuhkan manusia yang unggul, berdaya saing, harus dimulai dari pre-natal, karena menjadi faktor penentu. Dan itu dapat diawali melalui pendidikan sejak remaja,” ujarnya.

Muhadjir menekankan, pencegahan stunting pada bayi, pendidikan usia dini, kesehatan reproduksi, kehidupan pernikahan yang harmonis, menjadi bagian tidak terpisahkan dari peran Aisyiah ke depan. (ns/ka)