PP Muhammadiyah dan sejumlah mantan pimpinan KPK menilai ada upaya melemahkan KPK melalui proses pemilihan pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum HAM, Busyro Muqoddas mengatakan, hal tersebut terlihat dari munculnya nama-nama bermasalah yang memiliki rekam jejak tidak pro dengan pemberantasan korupsi. Antara lain mempunyai catatan menghambat proses hukum KPK, tidak patuh LHKPN, dan diduga melanggar etik saat bertugas di KPK.
Karena itu, ia meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak meneruskan ke DPR nama-nama yang bermasalah dari 20 nama yang lolos seleksi calon pimpinan KPK.
"Kuncinya sekarang ada di presiden selaku orang yang bertanggung jawab dengan jabatannya. Kita harapkan di periode yang kedua ini presiden bisa menunjukkan kehati-hatiannya dengan membuktikan dirinya konsen memberantas korupsi," kata Busyro di Jakarta, Rabu (28/8).
Busyro Muqoddas bersama para mantan pimpinan KPK juga meminta bertemu dengan Presiden untuk menyampaikan aspirasi mereka, sebelum Presiden memilih 10 nama yang akan diserahkan ke DPR. Kendati demikian, Busyro enggan menyebut nama-nama yang dinilai bermasalah tersebut.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), Bambang Widjojanto menduga lolosnya nama-nama yang bermasalah memang sengaja didesain pihak tertentu. Salah satu indikasinya, kata dia, KPK telah memberikan nama-nama yang bermasalah kepada pansel, namun nama tersebut tetap lolos.
"Diduga soal gratifikasi, pelanggaran etik, bahkan sengaja menghalangi proses penindakan di KPK. Dan itu ketika disampaikan, kemudian dijawab baru indikasi. Ini kan anggota Pansel KPK tidak paham perbedaan antara alat bukti, barang bukti dan indikasi," jelas Bambang Widjojanto.
Bambang Widjojanto juga mengkritik kinerja panitia seleksi pimpinan KPK yang tidak maksimal menelusuri rekam jejak yang diberikan sejumlah lembaga. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena pansel KPK hanya memiliki dua staf yang tidak mungkin dapat menelusuri semua rekam jejak calon pimpinan KPK.
Menanggapi hal tersebut, anggota Pansel Capim KPK, Indriyanto Seno Adji mengatakan, pengumuman LHKPN bagi calon pimpinan KPK tidak mungkin dilakukan pada tahap pendaftaran. Kata dia, hal tersebut dapat melanggar prinsip kesetaraan antara calon yang berasal dari penyelenggara negara dan calon di luar penyelenggara negara. Sebab pada prinsipnya LHKPN adalah ketentuan Undang-undang KPK yang secara umum mengatur penyelenggara negara.
"Mengenai syarat Capim pada Pasal 29 huruf k UU KPK ada makna mengumumkan. Dan, ini harus diartikan bahwa laporan kekayaan itu wajib diumumkan oleh Capim yang berasal penyelenggara negara maupun yang non-penyelenggara negara pada saat sudah ada penunjukan Capim sebagai Pimpinan Definitif. Baik yang penyelenggara negara maupun yang non penyelenggara negara," jelas Indriyanto melalui pesan online kepada VOA, Rabu (28/8).
Indriyanto Seno Adji menambahkan pengumuman LHKPN pada periode 1 hingga periode terakhir 2014 juga dilakukan saat calon pimpinan ditunjuk sebagai pimpinan KPK secara definitif. Sementara pada saat pendaftaran hanya diminta membuat pernyataan kesediaan untuk mengumumkan harta kekayaan.
"Jadi isu pengumuman LHKPN sekarang ini sepertinya merupakan soal vested interest yang subyektif dari pihak-pihak tertentu saja," tambahnya.
Ia juga membantah anggapan adanya kelolosan calon pimpinan yang tidak wajar karena pansel dalam memilih menggunakan pertimbangan dan penilaian yang obyektif. [sm/ft]