Tempe dan tahu seperti menjadi menu wajib bagi masyarakat. Sayangnya, sebagai negara tropis, Indonesia sulit meningkatkan produksi kedelai, sebagai bahan baku keduanya. Teknologi sepertinya menjadi satu-satunya jawaban.
Di lembah Selopamioro, Yogyakarta, setidaknya ada 20 hektare ladang kedelai. Bulan Maret ini, sekitar 10 hektare menikmati panen. Suparjo, Ketua Gabungan Kelompok Tani Ngudi Makmur yang menanam kedelai di sana menyebut musim mempengaruhi jumlah produksi mereka.
“Satu hektare bisa menghasilkan 1,9 ton untuk panen musik kemarau, untuk musim hujan di Februari itu bisa 2,5 ton per hektare,” ujarnya.
Suparjo dan rekan-rekannya memilih varietas kedelai Grobogan. Nama itu diambil dari kabupaten tempat varietas lokal tersebut dikembangkan, yaitu Grobogan, Jawa Tengah. Menurut perhitungan standar, kedelai Grobogan seharusnya mampu berproduksi 3,4-4,2 ton per hektare. Namun, bagi petani seperti Suparjo, hasil 2,5 ton per hektare sudah dinilai bagus.
“Biaya produksi tanam kedelai itu sangat murah. Benihnya murah, disamping itu perawatan juga proses pemanenan tidak mahal,” tambahnya.
Teknologi Menjadi Jawaban
Perbedaan hasil panen antara musim kemarau dan hujan, seperti dipaparkan Suparjo, membuktikan bahwa cuaca sangat berpengaruh terhadap produksi kedelai. Untuk itulah, peneliti kedelai dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dr Atris Suyantohadi, memperkenalkan teknologi Smart Agriculture Enterprise (SAE).
“Kita lihat, dari potensi hasil kedelai varietas Grobogan bisa 3,4 - 4,2 ton per hektare. Ini yang kita pacu dengan teknologi Smart Agriculture Enterprise yang mendorong untuk mengoptimalkan tanaman kedelai di lahan-lahan tropis,” kata Atris.
Dalam panen yang dilaksanakan Senin (14/3) siang, SAE mampu meningkatkan produksi kedelai petani. Teknologi ini diterapkan pada masa tanam terakhir sejak Desember 2021 lalu, di lahan percobaan seluas 0,6 hektar. Panen kali ini menghasilkan sekurangnya 2,4 ton dari luasan tersebut. Tanpa SAE, pada luasan yang sama petani hanya akan memanen 1,4 - 1,6 ton.
Pada prinsipnya, SAE adalah teknologi yang fokus pada intensifikasi regenerative farming. Teknologi ini membuat tanaman kedelai lebih mudah dibudidayakan pada lahan di iklim tropis. Selama ditanam, kedelai dimonitor terkait kecukupan nutrisi, kebutuhan air, kondisi cuaca, kebutuhan pupuk hingga tingkat kelembapan tanahnya. Alat sensor yang diletakkan di ladang kedelai, menjadi panduan untuk semua aspek itu secara real time.
“Kita membuat kondisi tanaman kedelai yang ditanam di lahan itu dalam kondisi kecukupan dari unsur nutrisi. Kita optimalkan disitu. Selama ini petani nanam kedelainya itu apa adanya, kurang terkendali dengan baik, sehingga hasilnya kecil,” tambah Atris.
Sistem ini juga hanya menggunakan pupuk organik. Selama penelitian berlangsung, Atris kemudian membuat komposisi pupuk organik sendiri yang jauh lebih cocok bagi kedelai.
“Termasuk penjadwalan tanam, dari awal budidaya sampai panen, kita agendakan dalam trace availability system, sehingga terlacak dari awal menanam sampai hasil panen akhir. Bahkan untuk kedelai industri, ada bar code area-nya,” tambahnya.
BACA JUGA: Kedelai Lokal Butuh KeberpihakanKode batang di produk kedelai ini membuat industri mengetahui lokasi asal produksi kedelai yang mereka pakai.
Jawaban untuk Petani
Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Profesor Eni Harmayani menyebut petani pada dasarnya juga berhitung. Jika sebuah komoditas tidak menguntungkan, mereka cenderung tidak akan menanamnya. Karena itu, pemanfatan teknologi pada varietas kedelai ini penting, jika Indonesia ingin meningkatkan produksi kedelai.
“Kalau produktivitas meningkat, petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” kata Eni.
Selama ini, kedelai lebih banyak ditanam di dataran rendah Indonesia, menyesuaikan dengan kondisi cuaca agar mendukung. Namun, SAE membuat kedelai juga bisa ditanam di tanah dengan ketinggian lebih. Bahkan, lanjut Eni, penanamannya nyaris tidak mengenal musim. Hasilnya, untuk bahan makanan khas Indonesia seperti tahu atau tempe, jelas lebih baik.
“Ini lebih besar, lebih cerah, lebih segar, kandungan proteinnya lebih tinggi. Untuk tempe lebih gurih,” tandasnya.
Pemanfaatan teknologi adalah jawaban bagi petani kedelai. Rektor UGM, Profesor Panut Mulyono menyebut pihaknya memiliki cukup banyak ahli di bidang pertanian dan pangan, yang bisa memberikan sumbangsih keilmuan di sektor ini.
“Kita dengan berbagai kepakaran yang dimiliki, tentu harus mengusahakan menaikkan produksi dalam negeri, sehingga kedelai kita harus bisa mengganti kedelai impor. Ke depan, jika memungkinkan, kita tidak impor lagi,” ujarnya.
Panut meminta seluruh pihak terkait di sektor komoditas kedelai, mau bekerja sama untuk memecahkan persoalan kekurangan pasokan. Dari sisi keilmuan, UGM siap menyediakan tenaga ahlinya.
Tiga Pendekatan Pemerintah
Dalam diskusi Prospek Tanam Kedelai yang diselenggarakan Kementerian Pertanian, Jumat (11/3), Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi menyebut pemerintah memiliki tiga pendekatan untuk menaikkan produksi kedelai.
Your browser doesn’t support HTML5
“Konsep pertama adalah yang selama ini menanam kedelai eksisting, kita akselerasi, kita dorong, kita tingkatkan, baik itu luas maupun produktivitasnya,” kata Suwandi.
Pendekatan kepada petani kedelai itu dimulai sejak pemilihan benih yang baik.
Skema kedua, kata Suwandi, adalah sistem pengenalan daerah-daerah baru, khususnya kawasan pertanian yang sebelumnya pernah mengikuti program penanaman kedelai. Banyak kawasan yang dulu pernah memproduksi kedelai, kemudian berpindah ke komoditas lain.
“Zaman dulu itu petani kita sudah nanam sampai 1 juta hektare, 800 ribu hektare, terakhir ada 600 ribu hektare,” tambah Suwandi.
Banyak petani di kawasan yang dulu menanam kedelai, pindah ke komoditas jagung. Mereka inilah yang akan disasar Kementerian Pertanian. Mereka tidak diminta sepenuhnya berganti ke kedelai. Justru Kementerian Pertanian menyarankan pemakaian teknik tumpang sari, atau penanaman dua jenis tanaman atau lebih disatu lahan.
“Kami enggak melarang nanam jagung, tetapi tolong memakai tumpang sari. Di antara tanaman jagung, diselipkan kedelai, sehingga lebih intensif, lebih produkif,” tambahnya.
Petani di kawasan Kendal dan Grobogan, Jawa Tengah, kata Suwandi sudah mempraktikkan metode ini dengan baik.
Skema ketiga, lanjut Suwandi, adalah penanaman kedelai di lahan perkebunan. Petani kepala sawit, misalnya, akan didorong untuk menanam kedelai diantara tanaman sawitnya.
Produksi kedelai Indonesia memang terus turun. Data menunjukkan, produksi kedelai pada 2010 ada di angka 907 ribu ton. Jumlahnya menurun drastis menjadi hanya 424,2 ribu ton pada 2019. Jumlah itu dipengaruhi luasan lahan panen kedelai, yang juga turun dari 660,8 ribu hektare pada 2010 menjadi 285,3 ribu hektare pada 2019. [ns/ab]