Angin yang cepat berubah, kurangnya sistem deteksi dan petugas pengontrol menjadikan tempat-tempat wisata di Asia Tenggara seperti Bali mimpi buruk bagi pilot.
JAKARTA/DENPASAR —
Wind shear, atau perubahan mendadak dari kecepatan dan arah angin, merupakan musuh tak terlihat bagi pilot yang mendarat di pulau-pulau wisata tropis di Asia.
Perubahan angin ini terutama berbahaya saat mendarat, namun beberapa tempat wisata di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Filipina tidak memiliki sistem deteksi di darat untuk memperingatkan para pilot, menurut para pejabat bandar udara.
Fenomena angin yang bergejolak merupakan hal biasa di Asia Tenggara. Seorang pilot Lion Air dari pesawat jet penumpang seri Boeing Co 737 baru yang jatuh di Bali bulan lalu memberitahu para penyelidik bahwa pesawatnya “diseret” angin ke laut dalam jarak dekat dari landasan.
“Ada hujan badai cukup ganas yang besar. Anda dapat dengan mudah meningkatkan kemampuan pesawat dalam keadaan wind shear yang parah,” ujar Richard Woodward, kapten Qantas Airways Ltd yang menerbangkan pesawat seri A380.
"Keindahan dari sistem berbasis darat adalah mereka dapat memberitahu sejak awal bahwa ada wind shear,” ujar Woodward, yang telah terbang di wilayah Asia Tenggara selama lebih dari 30 tahun.
Sistem peringatan darat, yang bernilai sekitar US$1 juta, dapat membantu melihat angin-angin berbahaya di jalur penerbangan pesawat, membuat pilot memiliki lebih banyak waktu untuk menghindarinya.
Namun meski pendapatan meningkat dan pembangunan terminal-terminal baru yang mewah dilakukan, para pejabat mengatakan bandar-bandar udara di Bali, Koh Samui, Langkawi dan Cebu tidak memiliki peralatan deteksi wind shear di darat.
Saat ditanya apakah industri mendukung sistem berbasis darat, juru bicara Airbus Martin Fendt mengatakan: “Kita akan mendukung inisiatif apa pun yang bertujuan meningkatkan keselamatan penerbangan. Mengenai pemasangan di bandar udara, hal itu merupakan urusan operator bandar udara dan pihak berwenang yang relevan.”
Baik Boeing maupun Airbus mengatakan mereka memiliki sistem deteksi perubahan angin di atas pesawat. Gabungan dua sistem deteksi memberikan pilot peluang yang lebih baik untuk terbang dengan selamat.
Bertindak Cepat
Kondisi angin yang berbalik ditemukan dalam lebih dari 30 persen kecelakaan global pada saat mendekat atau mendarat, ujar Airbus.
Saat mendengar alarm wind shear, pilot memiliki beberapa detik saja untuk menyeimbangkan sayap, mendorong kekuatan mesin secara penuh dan menaikkan hidung pesawat untuk membatalkan pendaratan dan menghindari turbulensi yang kuat.
Penerbangan Lion Air berbiaya rendah yang jatuh bulan lalu terjebak dalam aliran angin bawah dalam awan hujan yang tak terduga bahkan setelah bandar udara melaporkan bahwa cuaca aman, menurut seorang sumber dari pihak investigasi.
Para penyelidik kemungkinan akan memeriksa apakah alarm wind shear di atas pesawat Boeing 737-800 itu mati. Jika ya, kapan dan bagaimana pilot menanggapainya, dan bagaimana pesawat jet baru itu bereaksi.
Masruri, Kepala Subkomunikasi Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menolak memberikan sebab kecelakaan sebelum laporan penyelidikan diluncurkan. Diperkirakan laporan tersebut akan diterbitkan sekitar empat bulan setelah kecelakaan.
Penampilan yang Mengilap
Berkat pertumbuhan kelas menengah di Asia Tenggara, perjalanan udara meningkat, dan maskapai berbiaya rendah seperti Lion Air dan AirAsia dari Malaysia memiliki pangsa pasar 52 persen di wilayah ini. Angka ini hampir dua kali lipat dari lima tahun yang lalu.
Namun di belakang penampilan gedung-gedung terminal baru adalah kekurangan kronis detektor cuaca, landasan, staf pengontrol lalu lintas udara dan pilot untuk memenuhi tuntutan besar terbang di wilayah yang berpenduduk 600 juta orang ini.
Tidak ada bandar udara di Indonesia atau Filipina yang memiliki sistem peringatan wind shear level rendah (LLWAS) di darat, menurut para pejabat bandar udara dan pemerintah.
Bandar udara Jakarta dan Bali mungkin akan memiliki LLWAS tahun depan, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang bertanggung jawab mendanai sistem-sistem semacam itu.
“Indonesia belum memiliki LLWAS, barangkali karena anggaran,” ujar Syamsul Huda, Kepala Pusat Meteorologi Maritim dan Penerbangan di BMKG.
"Saya merasa lebih aman dengan adanya sistem tersebut.”
Pulau Langkawi di Malaysia memiliki Sistem Pendaratan Instrumen (ILS), yang membantu memandu pilot ketika mereka tidak dapat melihat landasan, namun tidak memiliki sistem deteksi wind shear.
Pulau Koh Samui di Thailand, yang terkenal dengan batu karang dan pantainya, kurang memiliki ILS dan sistem deteksi wind shear. Resor pantai paling terkenal di Thailand, Phuket, memiliki keduanya, dan pulau Krabi yang ada di dekatnya baru-baru ini memasang alarm wind shear.
Angin kuat menjelang landasan di Phuket menyebabkan kesalahan pilot yang berakibat pada jatuhnya pesawat One-Two-Go pada 2007 yang menewaskan 90 orang, menurut para penyelidik. Maskapai berbiaya rendah One-Two-Go, dimiliki oleh veteran penerbangan Thailand Udom Tantiprasongchai, sekarang berganti nama menjadi Orient Thai Airlines.
Landasan Tak Terlihat
Jumlah penumpang di bandar udara Bali telah tumbuh duapertiganya dalam lima tahun terakhir menjadi 14 juta orang tiap tahun, yang diperkirakan akan naik menjadi 20 juta pada tahun-tahun mendatang.
Terminal baru senilai $290 juta, yang akan siap pada saat pertemuan APEC yang dihadiri pemimpin-pemimpin dunia tahun ini, akan memiliki atap berbentuk ombak yang menyerap cahaya matahari dan mendaur ulang air badai. Namun tidak ada ruang untuk landasan baru, dan yang sekarang ada diperpanjang sampai ke laut. Tapi landasan ini cukup panjang untuk pesawat kepresidenan Amerika Air Force One.
Landasan yang ada sekarang tidak memiliki ILS untuk pesawat-pesawat yang mendekat dari arah barat, seperti jet Lion Air yang naas. Sistem ILS tersedia bagi pesawat yang datang dari timur, dan sistem navigasi VOR yang lebih sederhana yang mengandalkan pilot dalam melihat landasan, tersedia untuk pesawat dari barat.
Pilot-pilot Lion Air kehilangan pandangan ke arah landasan dalam awan hujan dan pesawat jatuh ke laut saat hendak mencoba berputar untuk upaya mendarat kedua, menurut sumber dari pihak penyelidik.
NASA membantu mengembangkan sistem-sistem prediksi untuk maskapai-maskapai dan bandar udara di Amerika setelah ketidakmampuan mendeteksi wind shear membuat pesawat Delta Air Lines Inc jatuh dan menwaskan 137 orang pada 1985. Salah satu perusahaan yang memproduksi sistem darat adalah Vaisala Oyj dari Finlandia.
Riset yang dilakukan universitas terkemuka Massachusetts Institute of Technology menunjukkan tidak ada kecelakaan terkait perubahan angin pada bandar udara yang mengoperasikan sistem deteksi wind shear yang modern. Namun melengkapi bandar udara dan pesawat dengan sistem peringatan hanyalah setengah dari solusi, karena diperlukan juga para profesional yang berkualifikasi untuk mengoperasikan dan mengawasi peralatan ini dengan kepala dingin.
Kepala pelayanan lalu lintas udara di bandar udara Ngurah Rai Bali, Tri Basuki mengatakan, para staf bekerja dua periode waktu (shift) karena hanya ada 50 persen orang yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem-sistem radar, pengawasan dan navigasi.
Keadaan pengontrol lalu lintas udara lebih parah lagi. Hanya ada 43 orang, atau sekitar sepertiga dari persyaratan pemerintah yaitu 115 orang, untuk memandu bandar udara dengan rata-rata pendaratan pesawat mencapai 330 per hari itu.
Tri mengatakan beberapa pengontrol di Bali mengalami kelelahan kumulatif.
“Ketika petugas pengontrol kelelahan, kita menghadapi risiko tinggi, risiko yang sangat tinggi,” ujarnya. (Reuters/Neil Chatterjee dan Trisha Sertori)
Perubahan angin ini terutama berbahaya saat mendarat, namun beberapa tempat wisata di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Filipina tidak memiliki sistem deteksi di darat untuk memperingatkan para pilot, menurut para pejabat bandar udara.
Fenomena angin yang bergejolak merupakan hal biasa di Asia Tenggara. Seorang pilot Lion Air dari pesawat jet penumpang seri Boeing Co 737 baru yang jatuh di Bali bulan lalu memberitahu para penyelidik bahwa pesawatnya “diseret” angin ke laut dalam jarak dekat dari landasan.
“Ada hujan badai cukup ganas yang besar. Anda dapat dengan mudah meningkatkan kemampuan pesawat dalam keadaan wind shear yang parah,” ujar Richard Woodward, kapten Qantas Airways Ltd yang menerbangkan pesawat seri A380.
"Keindahan dari sistem berbasis darat adalah mereka dapat memberitahu sejak awal bahwa ada wind shear,” ujar Woodward, yang telah terbang di wilayah Asia Tenggara selama lebih dari 30 tahun.
Sistem peringatan darat, yang bernilai sekitar US$1 juta, dapat membantu melihat angin-angin berbahaya di jalur penerbangan pesawat, membuat pilot memiliki lebih banyak waktu untuk menghindarinya.
Namun meski pendapatan meningkat dan pembangunan terminal-terminal baru yang mewah dilakukan, para pejabat mengatakan bandar-bandar udara di Bali, Koh Samui, Langkawi dan Cebu tidak memiliki peralatan deteksi wind shear di darat.
Saat ditanya apakah industri mendukung sistem berbasis darat, juru bicara Airbus Martin Fendt mengatakan: “Kita akan mendukung inisiatif apa pun yang bertujuan meningkatkan keselamatan penerbangan. Mengenai pemasangan di bandar udara, hal itu merupakan urusan operator bandar udara dan pihak berwenang yang relevan.”
Baik Boeing maupun Airbus mengatakan mereka memiliki sistem deteksi perubahan angin di atas pesawat. Gabungan dua sistem deteksi memberikan pilot peluang yang lebih baik untuk terbang dengan selamat.
Bertindak Cepat
Kondisi angin yang berbalik ditemukan dalam lebih dari 30 persen kecelakaan global pada saat mendekat atau mendarat, ujar Airbus.
Saat mendengar alarm wind shear, pilot memiliki beberapa detik saja untuk menyeimbangkan sayap, mendorong kekuatan mesin secara penuh dan menaikkan hidung pesawat untuk membatalkan pendaratan dan menghindari turbulensi yang kuat.
Penerbangan Lion Air berbiaya rendah yang jatuh bulan lalu terjebak dalam aliran angin bawah dalam awan hujan yang tak terduga bahkan setelah bandar udara melaporkan bahwa cuaca aman, menurut seorang sumber dari pihak investigasi.
Para penyelidik kemungkinan akan memeriksa apakah alarm wind shear di atas pesawat Boeing 737-800 itu mati. Jika ya, kapan dan bagaimana pilot menanggapainya, dan bagaimana pesawat jet baru itu bereaksi.
Masruri, Kepala Subkomunikasi Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara pada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menolak memberikan sebab kecelakaan sebelum laporan penyelidikan diluncurkan. Diperkirakan laporan tersebut akan diterbitkan sekitar empat bulan setelah kecelakaan.
Penampilan yang Mengilap
Berkat pertumbuhan kelas menengah di Asia Tenggara, perjalanan udara meningkat, dan maskapai berbiaya rendah seperti Lion Air dan AirAsia dari Malaysia memiliki pangsa pasar 52 persen di wilayah ini. Angka ini hampir dua kali lipat dari lima tahun yang lalu.
Namun di belakang penampilan gedung-gedung terminal baru adalah kekurangan kronis detektor cuaca, landasan, staf pengontrol lalu lintas udara dan pilot untuk memenuhi tuntutan besar terbang di wilayah yang berpenduduk 600 juta orang ini.
Tidak ada bandar udara di Indonesia atau Filipina yang memiliki sistem peringatan wind shear level rendah (LLWAS) di darat, menurut para pejabat bandar udara dan pemerintah.
Bandar udara Jakarta dan Bali mungkin akan memiliki LLWAS tahun depan, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang bertanggung jawab mendanai sistem-sistem semacam itu.
“Indonesia belum memiliki LLWAS, barangkali karena anggaran,” ujar Syamsul Huda, Kepala Pusat Meteorologi Maritim dan Penerbangan di BMKG.
"Saya merasa lebih aman dengan adanya sistem tersebut.”
Pulau Langkawi di Malaysia memiliki Sistem Pendaratan Instrumen (ILS), yang membantu memandu pilot ketika mereka tidak dapat melihat landasan, namun tidak memiliki sistem deteksi wind shear.
Pulau Koh Samui di Thailand, yang terkenal dengan batu karang dan pantainya, kurang memiliki ILS dan sistem deteksi wind shear. Resor pantai paling terkenal di Thailand, Phuket, memiliki keduanya, dan pulau Krabi yang ada di dekatnya baru-baru ini memasang alarm wind shear.
Angin kuat menjelang landasan di Phuket menyebabkan kesalahan pilot yang berakibat pada jatuhnya pesawat One-Two-Go pada 2007 yang menewaskan 90 orang, menurut para penyelidik. Maskapai berbiaya rendah One-Two-Go, dimiliki oleh veteran penerbangan Thailand Udom Tantiprasongchai, sekarang berganti nama menjadi Orient Thai Airlines.
Landasan Tak Terlihat
Jumlah penumpang di bandar udara Bali telah tumbuh duapertiganya dalam lima tahun terakhir menjadi 14 juta orang tiap tahun, yang diperkirakan akan naik menjadi 20 juta pada tahun-tahun mendatang.
Terminal baru senilai $290 juta, yang akan siap pada saat pertemuan APEC yang dihadiri pemimpin-pemimpin dunia tahun ini, akan memiliki atap berbentuk ombak yang menyerap cahaya matahari dan mendaur ulang air badai. Namun tidak ada ruang untuk landasan baru, dan yang sekarang ada diperpanjang sampai ke laut. Tapi landasan ini cukup panjang untuk pesawat kepresidenan Amerika Air Force One.
Landasan yang ada sekarang tidak memiliki ILS untuk pesawat-pesawat yang mendekat dari arah barat, seperti jet Lion Air yang naas. Sistem ILS tersedia bagi pesawat yang datang dari timur, dan sistem navigasi VOR yang lebih sederhana yang mengandalkan pilot dalam melihat landasan, tersedia untuk pesawat dari barat.
Pilot-pilot Lion Air kehilangan pandangan ke arah landasan dalam awan hujan dan pesawat jatuh ke laut saat hendak mencoba berputar untuk upaya mendarat kedua, menurut sumber dari pihak penyelidik.
NASA membantu mengembangkan sistem-sistem prediksi untuk maskapai-maskapai dan bandar udara di Amerika setelah ketidakmampuan mendeteksi wind shear membuat pesawat Delta Air Lines Inc jatuh dan menwaskan 137 orang pada 1985. Salah satu perusahaan yang memproduksi sistem darat adalah Vaisala Oyj dari Finlandia.
Riset yang dilakukan universitas terkemuka Massachusetts Institute of Technology menunjukkan tidak ada kecelakaan terkait perubahan angin pada bandar udara yang mengoperasikan sistem deteksi wind shear yang modern. Namun melengkapi bandar udara dan pesawat dengan sistem peringatan hanyalah setengah dari solusi, karena diperlukan juga para profesional yang berkualifikasi untuk mengoperasikan dan mengawasi peralatan ini dengan kepala dingin.
Kepala pelayanan lalu lintas udara di bandar udara Ngurah Rai Bali, Tri Basuki mengatakan, para staf bekerja dua periode waktu (shift) karena hanya ada 50 persen orang yang diperlukan untuk mengoperasikan sistem-sistem radar, pengawasan dan navigasi.
Keadaan pengontrol lalu lintas udara lebih parah lagi. Hanya ada 43 orang, atau sekitar sepertiga dari persyaratan pemerintah yaitu 115 orang, untuk memandu bandar udara dengan rata-rata pendaratan pesawat mencapai 330 per hari itu.
Tri mengatakan beberapa pengontrol di Bali mengalami kelelahan kumulatif.
“Ketika petugas pengontrol kelelahan, kita menghadapi risiko tinggi, risiko yang sangat tinggi,” ujarnya. (Reuters/Neil Chatterjee dan Trisha Sertori)